Fabel – Kera dan Ayam


Pada jaman dahulu, tersebutlah seekor ayam yang bersahabat dengan seekor kera. Namun persahabatan itu tidak berlangsung lama, karena kelakuan si kera. Pada suatu petang Si Kera mengajak si ayam untuk berjalan-jalan. Ketika hari sudah petang si Kera mulai merasa lapar. Kemudian ia menangkap si Ayam dan mulai mencabuti bulunya. Si Ayam meronta-ronta dengan sekuat tenaga. Akhirnya, ia dapat meloloskan diri.
Ia lari sekuat tenaga. Untunglah tidak jauh dari tempat itu adalah tempat kediaman si Kepiting. Si Kepiting adalah teman sejati darinya. Dengan tergopoh-gopoh ia masuk ke dalam lubang kediaman si Kepiting. Disana ia disambut dengan gembira. Lalu Si Kepiting menceritakan semua kejadian yang dialaminya, termasuk penghianatan si Kera.
Mendengar hal itu akhirnya si Kepiting tidak bisa menerima perlakuan si Kera. Ia berkata, “marilah kita beri pelajaran kera yang tahu arti persahabatan itu.” Lalu ia menyusun siasat untuk memperdayai si Kera. Mereka akhirnya bersepakat akan mengundang si Kera untuk pergi berlayar ke pulau seberang yang penuh dengan buah-buahan. Tetapi perahu yang akan mereka pakai adalah perahu buatan sendiri dari tanah liat.
Kemudian si Ayam mengundang si Kera untuk berlayar ke pulau seberang. Dengan rakusnya si Kera segera menyetujui ajakan itu. Beberapa hari berselang, mulailah perjalanan mereka. Ketika perahu sampai ditengah laut, mereka lalu berpantun. Si Ayam berkokok “Aku lubangi ho!!!” Si Kepiting menjawab “Tunggu sampai dalam sekali!!”
Setiap kali berkata begitu maka si ayam mencotok-cotok perahu itu. Akhirnya perahu mereka itu pun bocor dan tenggelam. Si Kepiting dengan tangkasnya menyelam ke dasar laut. Si Ayam dengan mudahnya terbang ke darat. Tinggallah Si Kera yang meronta-ronta minta tolong. Karena tidak bisa berenang akhirnya ia pun mati tenggelam.
(SELESAI)

Fabel – Kera Jadi Raja


Sang Raja hutan “Singa” ditembak pemburu, penghuni hutan rimba jadi gelisah. Mereka tidak mempunyai Raja lagi. Tak berapa seluruh penghuni hutan rimba berkumpul untuk memilih Raja yang baru. Pertama yang dicalonkan adalah Macan Tutul, tetapi macan tutul menolak. “Jangan, melihat manusia saja aku sudah lari tunggang langgang,” ujarnya. “Kalau gitu Badak saja, kau kan amat kuat,” kata binatang lain. “Tidak-tidak, penglihatanku kurang baik, aku telah menabrak pohon berkali-kali.” “Oh…mungkin Gajah saja yang jadi Raja, badan kau kan besar..”, ujar binatang-binatang lain. “Aku tidak bisa berkelahi dan gerakanku amat lambat,” sahut gajah.
Binatang-binatang menjadi bingung, mereka belum menemukan raja pengganti. Ketika hendak bubar, tiba-tiba kera berteriak, “Manusia saja yang menjadi raja, ia kan yang sudah membunuh Singa”. “Tidak mungkin,” jawab tupai. “Coba kalian semua perhatikan aku…, aku mirip dengan manusia bukan ?, maka akulah yang cocok menjadi raja,” ujar kera. Setelah melalui perundingan, penghuni hutan sepakat Kera menjadi raja yang baru. Setelah diangkat menjadi raja, tingkah laku Kera sama sekali tidak seperti Raja. Kerjanya hanya bermalas-malasan sambil menyantap makanan yang lezat-lezat.
Penghuni binatang menjadi kesal, terutama srigala. Srigala berpikir, “bagaimana si kera bisa menyamakan dirinya dengan manusia ya?, badannya saja yang sama, tetapi otaknya tidak”. Srigala mendapat ide. Suatu hari, ia menghadap kera. “Tuanku, saya menemukan makanan yang amat lezar, saya yakin tuanku pasti suka. Saya akan antarkan tuan ke tempat itu,” ujar srigala. Tanpa pikir panjang, kera, si Raja yang baru pergi bersama srigala. Di tengah hutan, teronggok buah-buahan kesukaan kera. Kera yang tamak langsung menyergap buah-buahan itu. Ternyata, si kera langsung terjeblos ke dalam tanah. Makanan yang disergapnya ternyata jebakan yang dibuat manusia. “Tolong…tolong,” teriak kera, sambil berjuang keras agar bisa keluar dari perangkap.
“Hahahaha! Tak pernah kubayangkan, seorang raja bisa berlaku bodoh, terjebak dalam perangkap yang dipasang manusia, Raja seperti kera mana bisa melindungi rakyatnya,” ujar srigala dan binatang lainnya. Tak berapa lama setelah binatang-binatang meninggalkan kera, seorang pemburu datang ke tempat itu. Melihat ada kera di dalamnya, ia langsung membawa tangkapannya ke rumah.
(SELESAI)

Fabel – Kiki dan Kiku


Ada dua ekor burung kecil yang tinggal di dahan pohon. Mereka bernama Kiki dan Kiku. Kedua burung itu bersahabat, tetapi tabiat mereka berbeda. Kiki selalu bangun pagi sebelum matahari terbit. Ia berolahraga di dahan-dahan pohon, meloncat dari dahan ke dahan, terbang mengelilingi pohon-pohon dan menyanyi. Kiki paling senang, bila ia dapat melihat matahari terbit.
“Selamat pagi, matahari yang baik,” sapa Kiki ramah.
“Selamat pagi juga, Kiki! Ho ho ho, pagi ini lagi-lagi kau bangun lebih pagi dariku,” sahut Matahari.
Matahari dan Kiki hampir setiap hari mengobrol. Kalau Kiki rajin bangun pagi, Kiku sebaliknya. Ia tak pernah bangun kalau matahari belum berada di atas pucuk pohon. Karena tidur terlalu lama dan jarang berolahraga, Kiku sering sakit. Kiki jengkel dengan kemalasan Kiku. Karena ia tak bisa membereskan tempat tidurnya pada pagi hari.
Kiki mencari akal agar Kiku tidak malas bangun pagi lagi.
“Kiku, pernahkah engkau makan cacing?” tanya Kiki pada suatu hari.
“Belum, bagaimana rasanya?” Kiku merasa tertarik.
“Belum pernah makan cacing? Kalau begitu jangan sebut dirimu burung. Setiap burung sejati pasti pernah makan cacing setiap pagi,” kata Kiki sambil menepuk dada.
“Kalau begitu aku akan mencari cacing,” kata Kiku penasaran. “Kau akan cari cacing di mana?” ejek Kiki.
“Aku? Aku tidak tahu,” sahut Kiki malu. “Aku mau memberi tahu. Asal kau mau bangun pagi-pagi besok.” “Baiklah!”
Esok harinya, seperti biasa Kiku bangun sebelum matahari terbit. Ia bersusah payah membangunkan Kiku. Karena Kiku masih mengantuk, Kiku sering menutup matanya.
“Lihat Kiku! Bu Ayam sedang mengais-ngais tanah. Cacingnya banyak sekali! Tidakkah engkau ingin memakannya?” tanya Kiki. Seketika itu Kiku yang berjalan sambil terkantuk-kantuk, membuka matanya.
“Petok. petook! Ayo, Kiki, ajak temanmu sarapan bersama,” ajak Bu Ayam. Mereka pun sarapan pagi dengan gembira.
“Kiki, aku sudah makan cacing. Jadi aku adalah burung sejati,” kata Kiku. “Tapi burung sejati pun selalu bangun sebelum matahari terbit,” kata kiki.
“Aku akan membiasakan bangun pagi mulai sekarang. Karena ternyata bangun pagi itu menyenangkan. Aku merasa badanku sangat sehat,” kata Kiku.
“Mulai sekarang kita bisa berolahraga pagi,” kata Kiki. “Tentu!”
“Kalau begitu mari kita terbang. Satu, dua, tiga!” seru Kiki. Kedua burung itu melesat ke udara. Mereka terbang dengan riang di antara dahan-dahan pohon.
(SELESAI)

Fabel – Moni, Monyet Yang Licik


Siang itu angin berhembus sepoi-sepoi. Moni duduk di dahan sambil mengantuk. Tiba-tiba perutnya berbunyi keroncongan dan terasa lapar. Ia membayangkan betapa enaknya bila makan buah-buahan. Tetapi ia kemudian tersentak mengingat kata-kata temannya. Ia dikatakan sebagai si Serakah, si Rakus, si Tukang Makan, dan sebagainya. Bahkan ia terngiang kata-kata pak tani yang memarahinya. “Awas, kalau mencuri lagi! Kubunuh, Kau! Kalau kau ingin makan buah-buahan tanamlah sendiri! Bekerja dan berusahalah dengan baik!” kata petani dengan geram. Bulu kuduknya berdiri ketika ia teringat pernah dipukuli ketika mencuri pisang dan mangga di kebun pak tani.
Moni kemudian berpikir bagaimana cara mendapatkan makanan agar tidak dimarahi orang. “Ah, lebih baik saya mencari sahabat karibku! Mudah-mudahan ia dapat membantuku,” kata Moni dalam hati. Ia kemudian turun dari pohon dan berjalan mencari katak sahabat karibnya. Setibanya di pematang sawah, sambil bernyanyi ia memanggil sahabat karibnya tersebut.
“Pung… ketipung … pung! He… he… he…! Katak sahabatku, mengapa engkau sudah lama tak muncul? Ini sahabatmu datang! Saya rindu sekali padamu! Muncullah … muncullah!” Mendengar nyanyian tersebut katak muncul sambil bernyayi “Teot… teot! Teot… teblung! Ini aku si Katak datang!” Aku juga rindu padamu. Bagaimana aku muncul, bila kau sendiri tak muncul?” Kedua binatang tersebut kemudian berbincang-bincang untuk melepaskan kerinduannya. Pada kesempatan itu juga si Monyet menyampaikan maksudnya.
“Katak sahabatku, bagaimana kalau kita bekerja sama untuk menanam buah-buahan,” ajak monyet. “Wah, saya setuju sekali. Tetapi buah apa ya yang paling enak dan paling mudah ditanam?” jawab Katak. “Lebih baik kita menanam pisang saja! Bibitnya mudah didapat dan cara menanamnyapun mudah, bagaimana?” kata monyet sambil bertanya. “Baiklah, saya akan mencari bibitnya. Biasanya banyak batang pohon pisang yang hanyut di sungai. Mari kita ke tepi sungai!” jawab katak sambil mengajak monyet. Mereka kemudian ke tepi sungai sambil berbincang-bincang dengan akrabnya. Sesampainya di tepi sungai ia bermain-main sambil menunggu bila ada batang pisang yang hanyut. Benar juga! Tak lama kemudian ada sebatang pohon pisang yang hanyut.
“Nah, itu dia!” Teriak katak sambil menunjuk batang pisang yang hanyut. “Mari kita seret ke tepi!” ajak moni. “Mari!” jawab katak. Mereka terjun ke sungai dan menyeret batang pisang ke tepi sungai. Sesampainya di tepi, mereka angkat batang pisang itu ke daratan. Mereka kemudian menunggu kalau ada batang pisang yang hanyut lagi tetapi tak kunjung datang. “Menunggu itu membosankan,” kata monyet menggerutu. “Ya, kalau begitu besok kita ke sini lagi! Kita tunggu bila ada batang pisang yang hanyut lagi! Yang ini untukku,” kata katak sambil memegang batang pisang. “Ah, jangan curang! Ini milik kita berdua. Dari pada menunggu sampai besok sebaiknya kita bagi saja batang pohon pisang ini sekarang,” kata monyet.
“Baiklah, kita potong saja batang pohon pisang ini menjadi dua. Kamu bagian bawah sedang saya yang bagian atas” kata katak. “Ah, jangan curang! Yang dapat berbuah kan bagian atas! Saya sangat memerlukan buah itu dari pada kamu. Nanti yang bagian bawah juga dapat berbuah,” kata monyet membujuk katak. “Baiklah, kita kan bersahabat. Seorang sahabat haruslah saling mengerti dan saling menolong. Kita tidak boleh bertengkar hanya karena perkara kecil. Bawalah yang bagian atas! Saya cukup yang bagian bawah saja,” kata katak penuh perhatian. Mereka akhirnya membawa bagian masing-masing ke hutan. Moni membawa batang pisang bagian atas dan katak bagian bawah untuk ditanam.
Setiap sebulan sekali monyet mengunjungi katak. Mereka saling menanyakan tanamannya. “Bagaimana tanaman pisangmu?” tanya moni. “Ha… ha…, lihat saja itu! Subur bukan?! Tanamanku sangat subur. Daunnya begitu lebat.” Jawab katak sambil menunjukkan tanamannya. “Bagaimana dengan tanamanmu?” tanya katak lebih lanjut. “Wah…, tanamanku juga demikian!” jawab moni membohongi temannya. Ia bohong karena tanamannya sudah mati. Batang bagian atas tak mungkin hidup bila ditanam. Bulan berikutnya moni datang lagi. Ia bertanya kepada katak tentang tanamannya. “Bagaimana tanamanmu?” tanya moni.
“Wah, tanaman pisangku sangat subur, dan sekarang sudah berbuah. Bagaimana pula tanamanmu?” jawab katak sambil menanyakan tanaman si Moni. “Demikian juga tanamanku, sudah berbuah. Bahkan buahnya besar-besar,” jawab moni berbohong. Mereka kemudian berbincang-bincang sambil bergurau. Setelah selesai, moni kembali ke hutan. Pada kunjungan berikutnya ternyata buah pisangnya sudah masak tetapi katak tidak dapat memetiknya karena tidak dapat memanjat pohon pisang tersebut. Katakpun meminta bantuan kepada moni yang sedang berkunjung. “Moni, tolong petikkan pisangku yang sudah masak itu!” pinta katak kepada moni.
“Wah, dengan senang hati, mari kita ke sana!” jawab moni sambil mengajak katak. Monipun segera memanjat pohon pisang dan sesampainya di atas ia segera memetik dan mencoba memakannya. “Wah, ranum benar pisangmu!” teriak moni dari atas pohon pisang. “Hai moni, jangan kau makan sendiri saja. Cepat petikkan sesisir dulu untukku” teriak katak sambil memohon. “Ya, nanti dulu! Aku belum selesai memakannya. ” sahut moni. Satu, demi satu dimakannya pisang tersebut oleh moni, setiap katak meminta ada saja jawaban si Moni. Katak tak pernah diberi. Bahkan si Katak hanya dilempari kulitnya.
“Kamu lebih baik makan kulitnya saja, Tak! Ini bagianmu, terimalah! kata moni. Katakpun berang dilecehkan oleh moni. Ia pun berkata dalam hati untuk memberikan pelajaran kepada moni yang serakah tersebut. “Baiklah, habiskan saja pisangku. Aku sudah tak berminat lagi. Aku sudah kenyang makan nyamuk. Makanan utamaku kan nyamuk, bukan pisang seperti makananmu.” kata katak dengan kesal. “Ha… ha… ha…, katak-katak…, salahmu sendiri kamu tak dapat memanjat. Kamu hanya dapat meloncat-loncat saja. Coba perhatikan saya! Saya dapat berjalan, meloncat dan memanjat. Makanankupun lebih banyak jenisnya daripada kamu. Kamu lebih baik makan nyamuk saja. Pisang ini sebenarnya untukku bukan untukmu,” kata moni dengan congkak.
“Dasar moni serakah! Sudahlah, jangan banyak bicara! Cepat habiskan saja pisangku! Sebentar lagi batangnya akan saya tebang,” kata katak dengan marah. Selesai berbicara katakpun mulai menebang batang pohon pisangnya. Moni segera mempercepat makannya. Tak terasa ia mulai kenyang dan mengantuk. Batang pohon pisang mulai bergoyang dan akan roboh tetapi moni tak dapat menahan kantuknya. Lebih-lebih goyangannya batang pohon pisang dianggapnya sebagai ayunan yang meninabobokkan. Akhirnya ia jatuh. Perutnya terkena ujung pohon kayu kering yang runcing dan badannya tertimpa batang pohon pisang.
(SELESAI)

Fabel – Pengorbanan Seekor Katak


Dahulu kala di negeri Korea hiduplah seorang petani yang miskin. Ia tinggal di sebuah dusun yang terletak di lereng sebuah gunung yang tinggi. Petani itu mempunyai seorang puteri yang bernama Bok-Sury. Istrinya telah lama meninggal. Bok-Sury adalah seorang gadis yang rajin dan pemberani. Ia sangat menyayangi ayahnya.
Suatu hari ketika Bok-Sury memasak di dapur, seekor katak melompat-lompat masuk. Katak itu duduk dekat kakinya. Tiba-tiba katak itu berkata, “Bok-Sury berikanlah aku nasi sedikit. Perutku lapat sekali”. Bok-Sury sangat terkejut mendengar katak itu dapat berbicara. Tapi karena ia seorang gadis yang pemberani, maka diberikannya nasi sedikit pada katak itu. Dengan lahapnya katak itu memakan nasi pemberiannya. Katak itu kembali berkata, “terima kasih Bok-Sury! Sekarang biarkanlah aku tinggal di pojok dapurmu. Aku tak mempunyai keluarga, dan lagi pula aku senang tinggal di dekatmu.”
Bok-Sury tidak mengusir katak itu. Ia pun merasa kesepian, katak itu dapat dijadikan teman bicaranya. Setiap hari bila Bok-Sury masak, disisakannya sedikit untuk katak itu. Tak seorang pun tahu tentang si katak. Ayahnya pun tak tahu. Karena tak bergerak-gerak maka tumbuhlah katak itu menjadi besar sekali. Bila orang melihat akan disangkanya katak itu seekor anjing.
Suatu ketika ayah Bok-Sury jatuh sakit. Badannya semakin kurus, mukanya pucat. Bok-Sury berusaha keras untuk menyembuhkan ayahnya, tapi ia tak berhasil. Ada seorang tabib yang tinggal jauh sekali dari dusun mereka. Karena Bok-Sury sangat menyayangi ayahnya, ia pergi juga menjemput tabib itu. Setelah memeriksanya, tabib itu berkata, “Bok-Sury, ayahmu sakit keras. Aku tak kuasa menyembuhkannya. Ada sebuah obat yang dapat menyembuhkan yaitu Ginseng. Tapi obat itu mahal sekali.”
Bok Sury merasa sedih sekali mendengar keterangan tabib. Ia tak punya uang dan tak dapat meninggalkan ayahnya untuk bekerja.
Sementara itu, di sebuah dusun di lereng gunung yang sama, rakyat sedang gelisah. Di sana terdapat istana tua yang dihuni oleh mahluk raksasa. Setiap tahun rakyat harus mengorbankan seorang manusia. Orang yang dijadikan mangsa itu diletakkan di atas sebuah altar di dalam istana.
Bila keesokan harinya rakyat melihat orang itu sudah tidak ada, maka itu tandanya mereka akan selamat dari amukan mahluk raksasa selama setahun. Sudah banyak yang menjadi korban. Sekarang rakyat sedang kebingungan. Mereka tidak mempunyai korban buat si mahluk raksasa. Akhirnya rakyat mengumpulkan uang. Uang yang banyak itu akan diberikan kepada siapa saja yang mau dijadikan korban.
Bok-Sury mendengar sayembara itu. Segera diputuskannya untuk menjadikan dirinya korban buat si mahluk raksasa. Ia pergi ke dusun itu dan mendapatkan uang. Dengan uang yang banyak, Bok-Sury pergi membeli ginseng.
Betapa sukacitanya, ia ketika dilihatnya ayah tercinta berangsur-angsur sembuh. Bahkan dalam waktu beberapa hari saja ayahnya dapat berdiri dan berjalan. Tapi kegembiraan Bok-Sury tak dapat berlangsung lama. Hari yang ditentukan tiba juga. Bok-Sury masak agak banyak untuk ayahnya. Kepada ayahnya ia berkata, “Ayah, aku akan bertandang ke rumah teman, mungkin agak lama. Ayah makanlah dahulu, sudah kusiapkan.”
Ayah Bok-Sury tak menaruh curiga, karena Bok-Sury sering pergi untuk menolong salah satu tetangganya. Bok-Sury teringat pada kataknya. Ia pergi ke dapur, ternyata sang katak sudah mengetahui rencana Bok-Sury. Katak itu menangis. Bok-Sury dengan lemah lembut membelai kepala katak itu sambil berkata, “Wahai sahabatku yang setia. Hari ini adalah hari terakhir kita bercakap-cakap. Jangan sedih, dan jagalah dirimu baik-baik.”
Bok-Sury sesampainya di dusun tempat mahluk raksasa itu berada, langsung dibawa ke istana tua. Ia diletakkan di atas altar persembahan. Suasana sunyi untuk beberapa saat. Bok-Sury memperhatikan keadaan disekelilingnya. Tiba-tiba dilihatnya katak yang dipeliharanya duduk di pojok ruangan. Katak itu memandangnya dengan bola mata yang bersinar-sinar. Tiba-tiba katak itu membuka mulutnya. Dari mulutnya keluar segulung asap berwarna kuning. Asap itu naik ke atas. Tiba-tiba dari atap rumah keluar segulung asap berwarna biru. Asap kuning dari sang katak berusaha menekan asap biru tadi. Terjadi dorong-mendorong antara kedua asap itu. Tapi lihat.. asap kuning itu akhirnya berhasil menggulung asap biru itu. Bersamaan dengan itu bumi seakan bergetar.
Keesokan harinya orang-orang mendatangi istana. Mereka mendapatkan Bok-Sury pingsan di dekat bangkai seekor katak raksasa. Bok-Sury selamat dan dapat kembali ke ayahnya. Ia dianugrahkan uang dan benda-benda berharga lainnya oleh penduduk dusun yang berhasil dibebaskan dari mahluk raksasa.
Bok-Sury membawa pulang bangkai raksasa itu. Ia menguburnya dengan khidmat. Bok-Sury hidup bahagia bersama ayahnya.
(SELESAI)

Fabel – Seekor Kambing dan Serigala


Fabel dari Yunani.
Seekor serigala yang kehausan tiba di tepi sebuah telaga. Ketika hendak minum dilihatnya seekor kambing sedang minum juga di tempat itu. Namun tidak seperti kambing-kambing lainnya yang akan kabur bila melihatnya, kambing yang satu ini tetap tenang meneruskan minumnya. Dengan heran, serigala mendekati kambing.
“Halo kambing! Apa kabar?”sapanya
“Oh, kabar baik serigala. Bagaimana denganmu?” balas kambing.
“Baik juga,” jawab serigala. “Ngomong-ngomong kenapa kau tak takut melihatku? Bukankah biasanya teman-temanmu akan kabur bila melihatku?”
“Ah, kau lupa padaku?” tanya kambing. “Coba kau perhatikan aku baik-baik dan ingat-ingat, kau pasti mengenalku!”
Serigala mencoba untuk mengingat dimana dia pernah bertemu dengan kambng yang satu ini. Lalu tiba-tiba dia ingat, “o ya aku ingat! Bukankah kau kambing yang pernah menyelamatkanku?”
Serigala ingat, saat itu dia sedang asyik memakan daging sapi buruannya ketika tiba-tiba terdengar bunyi letusan senapan dan jeritan kambing. Rupanya kambing menyeruduk si pemburu sehingga bidikannya luput dan serigala selamat.
“Maafkan aku kawan,” kata serigala. “Tadi aku hampir tidak mengenalimu. Terima kasih karena kau telah menyelamatkanku!”
“Sama-sama kawan!” kata kambing. Lalu kambing pun berpamitan. Dalam hati kambing bersyukur karena tidak jadi dimangsa oleh serigala.
(SELESAI)

Fabel – Semut Yang Hemat


Di zaman Mesir kuno, hiduplah seorang raja yang sangat terkenal keadilannya. Raja tersebut sangat mencintai rakyatnya. Bahkan raja tersebut dalam mencinta keluarganya tidak melebihi cintanya pada rakyatnya. Sehingga kalau ada anggota keluarganya yang bersalah tetaplah di hukum sebagaimana orang lain. Yang lebih istimewa lagi, raja ini juga penyayang binatang.
Karena cintanya pada binatang, suatu hari raja yang adil itu pergi berjalan-jalan menemui seekor semut. Si semut merasa senang dan bangga mendapat kunjungan dari raja.
“Bagaimana kabarmu, semut?” tanya sang Raja.
“Hamba baik-baik saja Baginda,” jawab semut gembira.
“Dari mana saja kau pergi?”
“Hamba sejak pagi pergi ke beberapa tempat tetapi belum juga mendapatkan makanan, Baginda.”
“Jadi sejak pagi kau belum makan?”
“Benar, baginda.”
Raja yang adil itu pun termenung sejenak. Kemudian berkata, “Hai, semut. Beberapa banyak makanan yang kau perlukan dalam setahun?”
“Hanya sepotong roti saja baginda,” jawab semut.
“Kalau begitu maukah kau kuberi sepotong roti untuk hidupmu setahun?”
“Hamba sangat senang, Baginda.”
“Kalau begitu, ayo engkau kubawa pulang ke istana,” ujar Raja, lalu membawa semut itu ke istananya. Semut sangat gembira karena mendapatkan anugerah makanan dari sang raja. Ia tidak susah-susah lagi mencari makanan dalam setahun. Dan tentu saja roti pemberian sang raja akan lebih manis dan enak.
“Sekarang engkau masuklah ke dalam tabung yang telah kuisi sepotong roti ini!” perintah sang raja. “Terimakasih, Baginda. Hamba akan masuk.”
“Setahun yang akan datang tabung ini baru akan kubuka,” ujar sang raja lagi.
“Hamba sangat senang, Baginda.”
Tabung berisi roti dan semut itu pun segera ditutup rapat oleh sang raja. Tutup tabung itu terbuat dari bahan khusus, sehingga udara tetap masuk ke dalamnya. Tabung tersebut kemudian disimpan di ruang khusus di dalam istana.
Hari-hari berikutnya sang raja tetap memimpin rakyatnya. Berbagai urusan ia selesaikan secara bijaksana. Akhirnya setelah genap setahun, teringatlah sang raja akan janjinya pada semut.
Perlahan-lahan raja membuka tutup tabung berisi semut itu. Ketika tutup terbuka, si semut baru saja menikmati roti permberian raja setahun lalu.
“Bagaimana kabarmu, semut?” tanya sang raja ketika matanya melihat semut di dalam tabung.
“Keadaan hamba baik-baik saja, Baginda.”
“Tidak pernah sakit selama setahun di dalam tabung?”
“Tidak baginda. Keadaan hamba tetap sehat selama setahun.”
Kemudian sang raja termenung sejenak sambil melihat sisa roti milik semut di dalam tabung.
“Mengapa roti pemberianku yang hanya sepotong masih kau sisakan separuh?” tanya sang raja.
“Betul, Baginda.”
“Katanya dalam setahun kau hanya memerlukan sepotong roti. Mengapa tak kau habiskan?”
“Begini, Baginda. Roti itu memang hamba sisakan separuh. Sebab hamba khawatir jangan-jangan
Baginda lupa membuka tutup tabung ini. Kalau Baginda lupa membukanya, tentu saja hamba masih dapat makan roti setahun lagi. Tapi untunglah Baginda tidak lupa. Hamba senang sekali.”
Sang raja sangat terkejut mendengar penjelasaan si semut yang tahu hidup hemat. Sang raja tersenyum kecil di dekat semut.
“Kau semut yang hebat. Kau dapat menghemat kebutuhanmu. Hal ini akan kusiarkan ke seluruh negeri agar rakyatku dapat mencotohmu. Kalau semut saja dapat menghemat kebutuhannya, mengapa manusia justru gemar hidup boros?”
“Sebaiknya Baginda jangan terlalu memuji hamba,” jawab si semut.
Semut itu akhirnya mendapat hadiah lagi dari raja. Sebagai tanda terimakasih karena telah mengajarinya hidup hemat.
(SELESAI)

Fabel – Serigala dan Bangau


Pada jaman dahulu tuan Serigala dan nyonya Bangau berteman, mereka selalu menghabiskan waktu bersama, pada suatu hari tuan Serigala mengundang nyonya Bangau untuk makan siang di rumahnya.
“Saya harap anda datang, nyonya Bangau” kata tuan Serigala. “Saya akan menyediakan daging yang lezat”. Nyonya Bangau menerima undangan itu dan pergi mengunjungi tuan Serigala. tuan Serigala telah membuat kasha yang lezat dan di sajikan di piring yang lebar.
Nyonya Bangau mematuk-matuk piring itu dengan paruhnya yang panjang, tetapi dia tidak bisa menggigit kasha itu. sampai kepalanya terpatuk tetapi masih juga nyonya bangau tidak dapat menggigit kasha.
Sementara itu tuan Serigala memakan kasha dengan lahap sampai tandas. setelah kasha habis tuan Serigala berkata “sangat menyenangkan makan siang bersama anda, saya harap kita bisa makan bersama lagi.”, “Terima kasih atas makan sianya tuan Serigala” jawab nyonya Bangau. “Besok anda harus datang ke rumah saya untuk makan siang”. “Saya akan datang” balas tuan Serigala.
Esoknya ketika tuan Serigala datang ke rumah nyonya Bangau, dia mencium aroma yang lezat, dalam hati tuan Serigala berpikir “Bau lezat apakah ini?? pasti makanan enak. Ketika nyonya Bangau menyajikan makanan, dia meletakkannya di pot yang berleher panjang dan bermulut sempit. “Jangan malu-malu tuan Serigala” nyonya bangau mempersilahkan.
Tuan Serigala berusaha memasukkan cakarnya ke dalam pot, tetapi sepertinya tidak berhasil, kemudian dia berusaha dengan menggunakan hidungnya, hasilnya nihil dia hanya bisa mencium bau makanan lezat itu. Kemudian nyonya Bangau memasukkan paruhnya yang panjang ke dalam pot dan memakan semua hidanagn lezat itu.
Ketika makanan sudah habis, nyonya Bangau berkata “Sangat menyenangkan anda bisa mengunjungi saya, semoga kita bisa melakukan lagi dengan segera”. tuan Serigala sangat malu dan marah mendengarkan kata-kata nyonya Bangau. kemuadian tanpa mengucap sepatah kata tuan Serigala pergi.
Sejak saat itulah Bangau dan Serigala bermusuhan.
(SELESAI)

Fabel Motivasi - Kelinci dan Katak (Tegar dan Tetap Berjuang)






Fabel – Seruling Ajaib


Si Kancil sedang asyik berjalan di hutan bambu. “Ternyata enak juga jalan-jalan dihutan bambu, sejuk dan begitu damai,” kata kancil dalam hati. Keasyikan berjalan membuat ia lupa jalan keluar, lalu ia mencoba jalan pintas dengan menerobos pohon-pohon bambu. Tapi yang terjadi si kancil malah terjepit diantara batang pohon bambu. “Tolong! Tolong!” teriak kancil. Ia meronta-ronta, tapi semakin ia meronta semakin kuat terjepit. Ia hanya berharap mudah-mudahan ada binatang lain yang menolongnya.
Tak jauh dari hutan bambu, seekor harimau sedang beristirahat sambil mendengarkan kicauan burung. Ia berkhayal bisa bernyanyi seperti burung. “Andai aku bisa bernyanyi seperti burung, tapi siapa yang mau mengajari aku bernyanyi ya ?”, tanyanya dalam hati. Semilir angin membuat harimau terkantuk-kantuk. Tak lama setelah ia mendengkur, terdengar suara berderit-derit. Suara itu semakin nyaring karena terbawa angin. “Suara apa ya itu ?” kata harimau.
“Yang pasti bukan suara kicauan burung, sepertinya suaranya datang dari arah hutan bambu, lebih baik aku selidiki saja,” ujar si harimau. Suara semakin jelas ketika harimau sampai di hutan bambu. Ia mendapati ternyata seekor kancil sedang terjepit diantara pohon-pohon bambu. “Wah aku beruntung sekali hari ini, tanpa susah payah hidangan lezat sudah tersedia”, ujar harimau kepada kancil sambil lidahnya berdecap melihat tubuh kancil yang gemuk. Kancil sangat ketakutan.”Apa yang harus kulakukan agar bisa lolos dengan selamat ?”, pikir si kancil.
“Harimau yang baik, janganlah kau makan aku, tubuhku yang kecil pasti tak akan mengenyangkanmu.” “Aku tak perduli, aku sudah lama menunggu kesempatan ini,” ujar si harimau. Angin tiba-tiba berhembus lagi, kriet….kriet… “Suara apa itu ?”, Tanya Harimau penasaran. “Itu suara seruling ajaibku,” jawab kancil dengan cepat. Otaknya yang cerdik telah menemukan suatu cara untuk meloloskan diri. “Aku bersedia mengajarimu asalkan engkau tidak memangsaku, bagaimana ?” Tanya si kancil. Harimau tergoda dengan tawaran si kancil, karena ia memang ingin dapat bernyanyi seperti burung. Ia berpikir meniup seruling tidak kalah hebat dengan bernyanyi. Tangan si kancil pura-pura asyik memainkan seruling seiring dengan hembusan angin. Sementara harimau memperhatikan dengan serius. “Koq lagunya hanya seperti itu ?”, Tanya harimau. “ini baru nada dasar”, jawab kancil.
“Begini caranya, coba kau kemari dan renggangkan dulu batang bambu ini dari tubuhku”, kata si kancil. Harimau melakukan apa yang dikatakan kancil hingga akhirnya kancil terbebas dari jepitan pohon bambu. “Nah, sekarang masukkan lehermu dan julurkan lidahmu pada batang bambu ini. Lalu tiuplah pelan-pelan ,” Kancil menerangkan dengan serius. “Jangan heran ya, kalau suaranya kadang kurang merdu, tapi kalau lagi tidak ngadat suaranya bagus lho.” “Untung ada si harimau, hmm bodoh sekali dia, mana ada seruling ajaib,” kata kancil dalam hati. “Harimau yang telah terjepit diantara batang bamboo tidak menyadari bahwa ia telah ditipu si kancil. “Kau mau pergi kemana, Cil ?”, Tanya harimau. “Aku mau minum dulu, tenggorokanku kering karena kebanyakan meniup seuling,” jawab si kancil. “Masa aku harus belajar sendiri ?”, tanya harimau lagi. “Aku pergi tidak lama, nanti waktu aku kembali, kau harus sudah bisa meniupnya ya, jawab si kancil sambil pergi meninggalkan harimau.
Setelah si kancil pergi, angin bertiup semilir-semilir dan semakin lama semakin kencang. Batang-batang pohon bambu menjadi saling bergesekan dan berderit-derit. “Hore aku bisa !”, seru harimau bersemangat. Karena terlalu bersemangat meniup, lidah harimau menjadi terjepit di antara batang bambu. Ia berteriak kesakitan dan segera menarik lidahnya dari jepitan batang bambu. “Wah ternyata aku telah ditipu lagi oleh si kancil, betapa bodohnya aku ini !, pasti bunyi berderit-derit itu suara batang bambu yang bergesekan. “Grr, benar-benar keterlaluan, kalau ketemu nanti akan ku hajar si kancil”, kata harimau.
Setelah lelah mencari si kancil, akhirnya harimau beristirahat di bawah pohon. Angin berhembus kembali. Kriet..kriet..krietmembuat batang-batang bambu saling bergesekan dan berderit-derit. Hal ini membuat amarah harimau sedikit reda. Ia jadi mengantuk dan akhirnya tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi dapat meniup seruling asli ! Membuat para binatang menari dan menyanyi.
(SELESAI)

Fabel – Si Kancil dan Buaya


Suatu hari Si Kancil, binatang yang katanya cerdik itu, sedang berjalan-jalan di pinggir hutan. Dia hanya ingin mencari udara segar, melihat matahari yang cerah bersinar. Di dalam hutan terlalu gelap, karena pohon-pohon sangat lebat dan tajuknya menutupi lantai hutan. Dia ingin berjemur di bawah terik matahari. Di situ ada sungai besar yang airnya dalam sekali. Setelah sekian lama berjemur, Si Kancil merasa bahwa ada yang berbunyi di perutnya,..krucuk…krucuk…krucuk. Wah, rupanya perutnya sudah lapar. Dia membayangkan betapa enaknya kalau ada makanan kesukaannya, ketimun. Namun kebun ketimun ada di seberang sungai, bagaimana cara menyeberanginya ya? Dia berfikir sejenak. Tiba-tiba dia meloncat kegirangan, dan berteriak: “Buaya….buaya…. ayo keluar….. Aku punya makanan untukmu…!!” Begitu Kancil berteriak kepada buaya-buaya yang banyak tinggal di sugai yang dalam itu.
Sekali lagi Kancil berteriak, “Buaya…buaya… ayo keluar… mau daging segar nggak?”
Tak lama kemudian, seekor buaya muncul dari dalam air, “Huaahhh… siapa yang teriak-teriak siang-siang begini.. mengganggu tidurku saja.” “Hei Kancil, diam kau.. kalau tidak aku makan nanti kamu.” Kata buaya kedua yang juga muncul.
“Wah…. bagus kalian mau keluar, mana yang lain?” kata Kancil kemudian. “Kalau cuma dua ekor masih sisa banyak nanti makanan ini. Ayo keluar semuaaa…!” Kancil berteriak lagi.
“Ada apa Kancil sebenarnya, ayo cepat katakan,” kata buaya.
“Begini, maaf kalau aku mengganggu tidurmu, tapi aku akan bagi-bagi daging segar buat buaya-buaya di sungai ini,” makanya harus keluar semua.
Mendengar bahwa mereka akan dibagikan daging segar, buaya-buaya itu segera memanggil teman-temannya untuk keluar semua. “Hei, teman-teman semua, mau makan gratis nggak? Ayo kita keluaaaar….!” buaya pemimpin berteriak memberikan komando. Tak berapa lama, bermunculanlah buaya-buaya dari dalam air.
“Nah, sekarang aku harus menghitung dulu ada berapa buaya yang datang, ayo kalian para buaya pada baris berjajar hingga ke tepi sungai di sebelah sana,” “Nanti aku akan menghitung satu persatu.”
Tanpa berpikir panjang, buaya-buaya itu segera mengambil posisi, berbaris berjajar dari tepi sungai satu ke tepi sungai lainnya, sehingga membentuk seperti jembatan.
“Oke, sekarang aku akan mulai menghitung,” kata Kancil yang segera melompat ke punggung buaya pertama, sambil berteriak, “Satu….. dua….. tiga…..” begitu seterusnya sambil terus meloncat dari punggung buaya satu ke buaya lainnya. Hingga akhirnya dia sampai di seberang sungai. Hatinya tertawa, “Mudah sekali ternyata.”
Begitu sampai di seberang sungai, Kancil berkata pada buaya, “Hai buaya bodoh, sebetulnya tidak ada daging segar yang akan aku bagikan. Tidakkah kau lihat bahwa aku tidak membawa sepotong daging pun?” “Sebenarnya aku hanya ingin menyeberang sungai ini, dan aku butuh jembatan untuk lewat. Kalau begitu saya ucapkan terima kasih pada kalian, dan mohon maaf kalau aku mengerjai kalian,” kata Kancil.
“Ha!….huaahh… sialan… Kancil nakal, ternyata kita cuma dibohongi. Aws kamu ya.. kalau ketemu lagi saya makan kamu,” kata buaya-buaya itu geram.
Si Kancil segera berlari menghilang di balik pohon, menuju kebun Pak Tani untuk mencari ketimun.
(SELESAI)

Fabel – Si Kancil dan Kerbau Dungu


Pada suatu hari ada seekor kancil berjalan-jalan di sekitar ladang milik Pak Tani. Kancil menginginkan buah ketimun milik Pak Tani. Tetapi Pak Tani selalu siaga dan berjaga-jaga mengawasi kebunnya, sehingga sulit bagi kancil untuk mencuri ketimun.
Kancil berjalan mengendap-endap menunggu Pak Tani lengah. Sampai siang hari, ia belum juga berhasil mendapatkan kesempatan. Akhirnya ia pergi meninggalkan tempat itu. Di tengah perjalanan, bertemu ia dengan seekor sapi.
“Hai sapi! Sedang apa kamu?” sapa kancil. “Hai, aku sedang makan rumput, mari ke sini makan bersamaku!” Jawab sapi sambil memamah rumput. “Terima kasih, tetapi aku tidak suka memakan rumput.” Jawab kancil. Lalu kancilpun berkata, “Maukah kau kuberi ketimun?”"Ketimun? Di mana ada ketimun?” tanya sapi. “Di sana, di ladang milik Pak Tani!” Jawab kancil sambil menunjuk ke ladang Pak Tani. “Ooo… milik Pak Tani, tidak ah aku tidak mau. Ketimun itu ditanam oleh Pak Tani, jadi aku tidak mau mencurinya.” Sahut sapi menolak.
“Baiklah kalau kau tidak mau, aku pergi dulu.” jawab kancil lalu pergi meninggalkan sapi. Baru beberapa langkah kancil berjalan, bertemulah ia dengan seekor kambing. “Aduh lahap sekali kau makan daun itu! Sampai-sampai lupa tidak menawari aku?” sapa kancil. “Oh kau cil, kalau kau belum makan, ayo makanlah bersamaku.” Seru kambing menawarkan. “Terima kasih, tetapi sayang aku tidak suka makan daun itu.” Jawab kencil. “Kenapa kau tidak suka? Oh… aku tahu maksudmu, kau pasti takut dimarahi Pak Tani kan? Pak Tani sudah memperbolehkan aku makan daun ini sepuasnya, tetapi Pak Tani bepesan padaku jangan sampai merusak batang pohonnya.” Kambing menjelaskan.
“Ya… ya, aku tahu itu. Tapi… hari ini aku ingin sekali makan ketimun.” Sahut kancil. “O… kalau ketimun, Pak Tani melarangku untuk mengambilnya. Karena buah ketimun itu akan dijual oleh Pak Tani ke pasar untuk menambah penghasilannya.” Jelas kambing pada kancil. “Tapi aku ingin mengambil beberapa buah saja…” kata kancil. “Terserah, kalau kau berniat mengambilnya. Yang penting aku sudah memperingatkanmu.” Ucap kambing lagi.
“Ya sudah, aku mau pergi saja…” kancil kembali berjalan untuk mencari kawan yang mau diajak mencuri ketimun. Dia memang takut mencuri sendiri, karena sudah berkali-kali Pak Tani mengetahui kalau ketimunnya dicuri oleh kancil. Pak Tani juga telah bersumpah bila nanti dapat menangkap kancil saat mencuri ketimun, dia akan memenggal kepalanya. Oleh karena itu kancil berusaha mencari kawan yang akan dijadikan teman mencuri ketimun di ladang.
Sampailah kancil di pinggiran sebuah kubangan. Ia melihat seekor kerbau yag sedang mandi lumpur. Di siang hari yang terik kerbau memang sangat senang bermandi lumpur. “Hai kerbau! Sedang apa kau di situ?” tanya kancil kepada kerbau. “Oh… kau Cil! Aku sedang mandi lumpur. Aku tidak tahan panasnya siang hari ini.” Sahut kerbau. “Iih, bukankah kau bertambah kotor dengan mandi di lumpur.” Seru kancil lagi. “Tidak, yang penting aku tidak kepanasan. Kalau kau kepanasan ayo kemarilah kita mandi bersama!” ajaknya. “Tidak, ah! Aku tidak mau badanku jadi kotor sepertimu.” Kata kancil menolaknya. “Ya sudah, kalau kau tidak mau.” Sahut kerbau. “Apakah kau sudah makan siang hari ini?” tanya kancil menyelidik. “Belum…, memangnya kenapa? Apakah kamu mempunyai makanan yang banyak?” jawab kerbau. “Ada, di sana banyak ketimun yang besar-besar.” “Lho, bukankah ketimun itu milik Pak Tani.” Sahut kerbau.
“Ya, memang ketimun itu milik Pak Tani, tapi kita kan hanya ingin mengambil beberapa buah saja. Kalau kau mau, ayo sama-sama kita ke sana!” bujuk kancil kepada kerbau. “Nanti…, biar aku saja yang memetik, kamu hanya berjalan saja melewati ladang, supaya Pak Tani tidak curiga. Dan aku akan berjalan di sebelahmu agar tak terlihat oleh Pak Tani.” “Baiklah, mari kita ke sana sekarang,” kata kerbau menyetujui.
Mereka berdua lalu berjalan bersama menuju ladang ketimun milik Pak Tani. Kancil berjalan di balik tubuh kerbau yang besar itu, sehingga yang tampak oleh Pak Tani hanya kerbau yang melintas di pinggir ladang. Pak Tani tidak merasa curiga sedikitpun, karena kerbau memang belum pernah mencuri ketimun ataupun merusak ladang miliknya. Ketika Pak Tani lengah, dengan cepat kancil memetik beberapa buah ketimun yang besar-besar. Setelah berhasil merekapun memakan buah ketimun itu di suatu tempat yang sepi.
“Kau cerdik sekali, Cil! Pak Tani pasti tidak tahu kalau kau mencuri ketimun itu. Karena yang dilihatnya cuma aku yang sedang berjalan sendirian.” Ucap kerbau kagum kepada akal bulus kancil. “Ya memang, makanya aku mengajakmu.” Sahut kancil dengan bangga. “Keesokan harinya, kancil dan kerbau mengulangi perbuatan itu lagi bersama-sama. Dalam sehari saja mereka telah mencuri sebanyak tiga kali atau lebih. Lama kelamaan Pak Tani pun mulai curiga melihat kerbau yang makin sering berjalan melewati ladang miliknya. Setelah kerbau lewat, Pak Tani memeriksa buah ketimun yang sebentar lagi akan dipanen.
“Oh….” Pak Tani terkejut.” Buah ketimunku yang besar-besar banyak yang hilang. Apa mungkin kerbau yang mencurinya, sebab beberapa hari ini hanya kerbau yang terlihat melewati ladang ini.” Ujar Pak Tani menduga-duga. “Awas kau kerbau!” Ancam Pak Tani. “Kancil saja sudah tak berani mencuri ketimunku. Kau malah berulangkali mencuri. Bila nanti kau tertangkap olehku, kau akan kuhukum yang berat.”
Hari berikutnya kancil dan kerbau kembali beraksi. Namun Pak Tani sudah siap dengan tambang dan pecut untuk menangkap kerbau. Ketika kerbau terlihat melintas di ladangnya, perlahan-lahan Pak Tani mendekatinya. “Ssstt… kancil, Pak Tani berjalan ke arah kita.” Ujar kerbau. “Ya… tenang saja, aku sudah dapat beberapa buah.” Ucap kancil tak peduli. “Kalau Pak Tani tahu bagaimana?” tanya kerbau yang mulai takut. “Tidak usah takut! Ini bagianmu, aku akan menaruh bagianku dulu disana. Dan kau jalan perlahan saja, agar Pak Tani tidak curiga.” Ujar kancil lalu berlari kencang meninggalkan kerbau. “Hai! Mau ke mana kau!” cegah Pak Tani di hadapan Kerbau. “Aku mau ke sana Pak Tani!” sahut kerbau pelan. “Oh… rupanya kamu yang selama ini telah mencuri ketimunku. Pantas saja akhir-akhir ini kau sering hilir mudik melewati ladangku.” Tegur Pak Tani marah. “Bu… bukan aku yang mencurinya Pak Tani. Tetapi kancillah yang telah mencuri ketimunmu.” Sahut kerbau mengelak. “Itu yang kau bawa apa? Bukankah itu ketimun dari ladangku?” Pak Tani semakin marah. “Ya…, ini memang ketimun milikmu Pak Tani, tetapi kancil yang mencurinya, dan aku diberi sebagian olehnya. Lalu ia pergi membawa bagiannya.”
“Tidak mungkin, kancil sudah tidak lagi berani mencuri ketimunku. Lagian beberapa hari ini hanya kau yang kulihat melintas di sini,” kata Pak Tani yang tidak mempercayai ucapan kerbau. “Sekarang sebagai hukumanmu, kamu harus mau membajak sawah-sawahku di sana!” perintah Pak Tani. “Baiklah Pak Tani, kalau memang itu keputusanmu, aku menurut.” Sahut kerbau kemudian. Pak Tani lalu mengikat leher kerbau dengan tambang agar tidak lari dari hukuman. Sejak itulah setiap hari kerbau mulai membajak sawah Pak Tani. Setelah selesai membajak sawah, barulah kerbau diberi makan oleh Pak Tani.
(SELESAI)

Fabel – Si Kancil Kena Batunya


Angin yang berhembus semilir-semilir membuat penghuni hutan mengantuk. Begitu juga dengan si kancil. Untuk mengusir rasa kantuknya ia berjalan-jalan dihutan sambil membusungkan dadanya. Sambil berjalan ia berkata,”Siapa yang tak kenal kancil. Si pintar, si cerdik dan si pemberani. Setiap masalah pasti selesai olehku”. Ketika sampai di sungai, ia segera minum untuk menghilangkan rasa hausnya. Air yang begitu jernih membuat kancil dapat berkaca. Ia berkata-kata sendirian. “Buaya, Gajah, Harimau semuanya binatang bodoh, jika berhadapan denganku mereka dapat aku perdaya”.
Si kancil tidak tahu kalau ia dari tadi sedang diperhatikan oleh seekor siput yang sedang duduk dibongkahan batu yang besar. Si siput berkata,”Hei kancil, kau asyik sekali berbicara sendirian. Ada apa? Kamu sedang bergembira ?”. Kancil mencari-cari sumber suara itu. Akhirnya ia menemukan letak si siput.
“Rupanya sudah lama kau memperhatikanku ya ?”. Siput yang kecil dan imut-imut. Eh bukan !. “Kamu memang kecil tapi tidak imut-imut, melainkan jelek bagai kotoran ayam”. Ujar si kancil. Siput terkejut mendengar ucapan si kancil yang telah menghina dan membuatnya jengkel. Lalu siputpun berkata,”Hai kancil !, kamu memang cerdik dan pemberani karena itu aku menantangmu lomba adu cepat”. Akhirnya mereka setuju perlombaan dilakukan minggu depan.
Setelah si kancil pergi, siput segera memanggil dan mengumpulkan teman-temannya. Ia meminta tolong teman-temannya agar waktu perlombaan nanti semuanya harus berada dijalur lomba. “Jangan lupa, kalian bersembunyi dibalik bongkahan batu, dan salah satu harus segera muncul jika si kancil memanggil, dengan begitu kita selalu berada di depan si kancil,” kata siput.
Hari yang dinanti tiba. Si kancil datang dengan sombongnya, merasa ia pasti akan sangat mudah memenangkan perlombaan ini. Siput mempersilahkan Kancil untuk berlari duluan dan memanggilnya untuk memastikan sudah sampai mana ia sampai. Perlombaan dimulai. Kancil berjalan santai, sedang siput segera menyelam ke dalam air. Setelah beberapa langkah, kancil memanggil siput. Tiba-tiba siput muncul di depan kancil sambil berseru,”Hai Kancil ! Aku sudah sampai sini.” Kancil terheran-heran, segera ia mempercepat langkahnya. Kemudian ia memanggil si siput lagi. Ternyata siput juga sudah berada di depannya. Akhirnya si kancil berlari, tetapi tiap ia panggil si siput, ia selalu muncul di depan kancil. Keringatnya bercucuran, kakinya terasa lemas dan nafasnya tersengal-sengal. Ketika hampir finish, ia memanggil siput, tetapi tidak ada jawaban. Kancil berpikir siput sudah tertinggal jauh dan ia akan menjadi pemenang perlombaan.
Si kancil berhenti berlari, ia berjalan santai sambil beristirahat. Dengan senyum sinis kancil berkata,”Kancil memang tiada duanya.” Kancil dikagetkan ketika ia mendengar suara siput yang sudah duduk di atas batu besar. “Oh kasihan sekali kau kancil. Kelihatannya sangat lelah, Capai ya berlari ?”. Ejek siput. “Tidak mungkin !”, “Bagaimana kamu bisa lebih dulu sampai, padahal aku berlari sangat kencang”, seru si kancil.
“Sudahlah akui saja kekalahanmu,”ujar siput. Kancil masih heran dan tak percaya kalau a dikalahkan oleh binatang yang lebih kecil darinya. Kancil menundukkan kepala dan mengakui kekalahannya. “Sudahlah tidak usah sedih, aku tidak minta hadiah kok. Aku hanya ingin kamu ingat satu hal, janganlah sombong dengan kepandaian dan kecerdikanmu dalam menyelesaikan setiap masalah, kamu harus mengakui bahwa semua binatang mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, jadi jangan suka menghina dan menyepelekan mereka”, ujar siput. Siput segera menyelam ke dalam sungai. Tinggallah si kancil dengan rasa menyesal dan malu.
(SELESAI)

Fabel – Si Kancil Pencuri Ketimun


Siang itu panas sekali. Matahari bersinar garang. Tapi hal itu tidak terlalu dirasakan oleh Kancil. Dia sedang tidur nyenyak di bawah sebatang pohon yang rindang.
Tiba-tiba saja mimpi indahnya terputus. “Tolong! Tolong! ” terdengar teriakan dan jeritan berulang-ulang. Lalu terdengar suara derap kaki binatang yang sedang berlari-lari.
“Ada apa, sih?” kata Kancil. Matanya berkejap-kejap, terasa berat untuk dibuka karena masih mengantuk.
Di kejauhan tampak segerombolan binatang berlari-lari menuju ke arahnya. “Kebakaran! Kebakaran! ” teriak Kambing. ” Ayo lari, Cil! Ada kebakaran di hutan! “
Memang benar. Asap tebal membubung tinggi ke angkasa. Kancil ketakutan melihatnya. Dia langsung bangkit dan berlari mengikuti teman-temannya.
Kancil terus berlari. Wah, cepat juga larinya. Ya, walaupun Kancil bertubuh kecil, tapi dia dapat berlari cepat. Tanpa terasa, Kancil telah berlari jauh, meninggalkan teman-temannya.
“Aduh, napasku habis rasanya,” Kancil berhenti dengan napas terengah-engah, lalu duduk beristirahat. “Lho, di mana binatang-binatang lainnya?” Walaupun Kancil senang karena lolos dari bahaya, tiba-tiba ia merasa takut. “Wah, aku berada di mana sekarang? Sepertinya belum pernah ke sini.”
Kancil berjalan sambil mengamati daerah sekitarnya. “Waduh, aku tersesat. Sendirian lagi. Bagaimana ini?’7 Kancil semakin takut dan bingung. “Tuhan, tolonglah aku.”
Kancil terus berjalan menjelajahi hutan yang belum pernah dilaluinya. Tanpa terasa, dia tiba di pinggir hutan. Ia melihat sebuah ladang milik Pak Tani.
“Ladang sayur dan buah-buahan? Oh, syukurlah. Terima kasih, Tuhan,” mata Kancil membelalak. Ladang itu penuh dengan sayur dan buah-buahan yang siap dipanen. Wow, asyik sekali!
“Kebetulan nih, aku haus dan lapar sekali,” kata Kancil sambil menelan air liurnya. “Tenggorokanku juga terasa kering. Dan perutku keroncongan minta diisi. Makan dulu, ah.”
Dengan tanpa dosa, Kancil melahap sayur dan buahbuahan yang ada di ladang. Wah, kasihan Pak Tani. Dia pasti marah kalau melihat kejadian ini. Si Kancil nakal sekali, ya?
“Hmm, sedap sekali,” kata Kancil sambil mengusap-usap perutnya yang kekenyangan. “Andai setiap hari pesta seperti ini, pasti asyik.”
Setelah puas, Kancil merebahkan dirinya di bawah sebatang pohon yang rindang. Semilir angin yang bertiup, membuatnya mengantuk. “Oahem, aku jadi kepingin tidur lagi,” kata Kancil sambil menguap.
Akhirnya binatang yang nakal itu tertidur, melanjutkan tidur siangnya yang terganggu gara-gara kebakaran di hutan tadi. Wah, tidurnya begitu pulas, sampai terdengar suara dengkurannya. Krr… krr… krrr…
Ketika bangun pada keesokan harinya, Kancil merasa lapar lagi. “Wah, pesta berlanjut lagi, nih,” kata Kancil pada dirinya sendiri. “Kali ini aku pilih-pilih dulu, ah. Siapa tahu ada buah timun kesukaanku.”
Maka Kancil berjalan-jalan mengitari ladang Pak Tani yang luas itu. “Wow, itu dia yang kucari! ” seru Kancil gembira. “Hmm, timunnya kelihatan begitu segar. Besarbesar lagi! Wah, pasti sedap nih.”
Kancil langsung makan buah timun sampai kenyang. “Wow, sedap sekali sarapan timun,” kata Kancil sambil tersenyum puas.
Hari sudah agak siang. Lalu Kancil kembali ke bawah pohon rindang untuk beristirahat.
Pak Tani terkejut sekali ketika melihat ladangnya. “Wah, ladang timunku kok jadi berantakan-begini,” kata Pak Tani geram. “Perbuatan siapa, ya? Pasti ada hama baru yang ganas. Atau mungkinkah ada bocah nakal atau binatang lapar yang mencuri timunku?”
Ladang timun itu memang benar-benar berantakan. Banyak pohon timun yang rusak karena terinjak-injak. Dan banyak pula serpihan buah timun yang berserakan di tanah. Hm, awas, ya, kalau sampai tertangkap! ” omel Pak Tani sambil mengibas-ngibaskan sabitnya. “Panen timunku jadi berantakan.”
Maka seharian Pak Tani sibuk membenahi kembali ladangnya yang berantakan.
Dari tempat istirahatnya, Kancil terus memperhatikan Pak Tani itu. “Hmm, dia pasti yang bernama Pak Tani,” kata Kancil pada dirinya sendiri. “Kumisnya boleh juga. Tebal,’ hitam, dan melengkung ke atas. Lucu sekali. Hi… hi… hi….
Sebelumnya Kancil memang belum pernah bertemu dengan manusia. Tapi dia sering mendengar cerita tentang Pak Tani dari teman-temannya. “Aduh, Pak Tani kok lama ya,” ujar Kancil. Ya, dia telah menunggu lama sekali. Siang itu Kancil ingin makan timun lagi. Rupanya dia ketagihan makan buah timun yang segar itu.
Sore harinya, Pak Tani pulang sambil memanggul keranjang berisi timun di bahunya. Dia pulang sambil mengomel, karena hasil panennya jadi berkurang. Dan waktunya habis untuk menata kembali ladangnya yang berantakan.
“Ah, akhirnya tiba juga waktu yang kutunggu-tunggu,” Kancil bangkit dan berjalan ke ladang. Binatang yang nakal itu kembali berpesta makan timun Pak Tani.
Keesokan harinya, Pak Tani geram dan marah-marah melihat ladangnya berantakan lagi. “Benar-benar keterlaluan! ” seru Pak Tani sambil mengepalkan tangannya. “Ternyata tanaman lainnya juga rusak dan dicuri.”
Pak Tani berlutut di tanah untuk mengetahui jejak si pencuri. “Hmm, pencurinya pasti binatang,” kata Pak Tani. “Jejak kaki manusia tidak begini bentuknya.”
Pemilik ladang yang malang itu bertekad untuk menangkap si pencuri. “Aku harus membuat perangkap untuk menangkapnya! “
Maka Pak Tani segera meninggalkan ladang. Setiba di rumahnya, dia membuat sebuah boneka yang menyerupai manusia. Lalu dia melumuri orang-orangan ladang itu dengan getah nangka yang lengket!
Pak Tani kembali lagi ke ladang. Orang-orangan itu dipasangnya di tengah ladang timun. Bentuknya persis seperti manusia yang sedang berjaga-jaga. Pakaiannya yang kedodoran berkibar-kibar tertiup angin.
Sementara kepalanya memakai caping, seperti milik Pak Tani.
“Wah, sepertinya Pak Tani tidak sendiri lagi,” ucap Kancil, yang melihat dari kejauhan. “Ia datang bersama temannya. Tapi mengapa temannya diam saja, dan Pak Tani meninggalkannya sendirian di tengah ladang?”
Lama sekali Kancil menunggu kepergian teman Pak Tani. Akhirnya dia tak tahan. “Ah, lebih baik aku ke sana,” kata Kancil memutuskan. “Sekalian minta maaf karena telah mencuri timun Pak Tani. Siapa tahu aku malah diberinya timun gratis.”
“Maafkan saya, Pak,” sesal Kancil di depan orangorangan ladang itu. “Sayalah yang telah mencuri timun Pak Tani. Perut saya lapar sekali. Bapak tidak marah, kan?”
Tentu saj,a orang-orangan ladang itu tidak menjawab. Berkali-kali Kancil meminta maaf. Tapi orang-orangan itu tetap diam. Wajahnya tersenyum, tampak seperti mengejek Kancil.
“Huh, sombong sekali!” seru Kancil marah. “Aku minta maaf kok diam saja. Malah tersenyum mengejek. Memangnya lucu apa?” gerutunya.
Akhirnya Kancil tak tahan lagi. Ditinjunya orangorangan ladang itu dengan tangan kanan. Buuuk! Lho, kok tangannya tidak bisa ditarik? Ditinjunya lagi dengan tangan kiri. Buuuk! Wah, kini kedua tangannya melekat erat di tubuh boneka itu.
” Lepaskan tanganku! ” teriak Kancil j engkel. ” Kalau tidak, kutendang kau! ” Buuuk! Kini kaki si Kancil malah melekat juga di tubuh orang-orangan itu. “Aduh, bagaimana ini?”
Sore harinya, Pak Tani kembali ke ladang. “Nah, ini dia pencurinya! ” Pak Tani senang melihat jebakannya berhasil. “Rupanya kau yang telah merusak ladang dan mencuri
timunku.” Pak Tani tertawa ketika melepaskan Kancil. “Katanya kancil binatang yang cerdik,” ejek Pak Tani. “Tapi kok tertipu oleh orang-orangan ladang. Ha… ha… ha…. “
Kancil pasrah saja ketika dibawa pulang ke rumah Pak Tani. Dia dikurung di dalam kandang ayam. Tapi Kancil terkejut ketika Pak Tani menyuruh istrinya menyiapkan bumbu sate.
” Aku harus segera keluar malam ini j uga I ” tekad Kancil. Kalau tidak, tamatlah riwayatku. “
Malam harinya, ketika seisi rumah sudah tidur, Kancil memanggil-manggil Anjing, si penjaga rumah. “Ssst… Anjing, kemarilah,” bisik Kancil. “Perkenalkan, aku Kancil. Binatang piaraan baru Pak Tani. Tahukah kau? Besok aku akan diajak Pak Tani menghadiri pesta di rumah Pak Lurah. Asyik, ya?”
Anjing terkejut mendengarnya. “Apa? Aku tak percaya! Aku yang sudah lama ikut Pak Tani saja tidak pernah diajak pergi. Eh, malah kau yang diajak.”
Kancil tersenyum penuh arti. “Yah, terserah kalau kau tidak percaya. Lihat saja besok! Aku tidak bohong! “
Rupanya Anjing terpengaruh oleh kata-kata si Kancil. Dia meminta agar Kancil membujuk Pak Tani untuk mengajakn-ya pergi ke pesta.
“Oke, aku akan berusaha membujuk Pak Tani,” janji Kancil. “Tapi malam ini kau harus menemaniku tidur di kandang ayam. Bagaimana?” Anjing setuju dengan tawaran Kancil. Dia segera membuka gerendel pintu kandang, dan masuk. Dengan sigap, Kancil cepat-cepat keluar dari kandang.
“Terima kasih,” kata Kancil sambil menutup kembali gerendel pintu. “Maaf Iho, aku terpaksa berbohong. Titip salam ya, buat Pak Tani. Dan tolong sampaikan maafku padanya.” Kancil segera berlari meninggalkan rumah Pak Tani. Anjing yang malang itu baru menyadari kejadian sebenarnya ketika Kancil sudah menghilang.
(SELESAI)

Fabel – Si Rusa dan Si Kulomang


Pada jaman dahulu di sebuah hutan di kepulauan Aru, hiduplah sekelompok rusa. Mereka sangat bangga akan kemampuan larinya. Pekerjaan mereka selain merumput, adalah menantang binatang lainnya untuk adu lari. Apabila mereka itu dapat mengalahkannya, rusa itu akan mengambil tempat tinggal mereka.
Ditepian hutan tersebut terdapatlah sebuah pantai yang sangat indah. Disana hiduplah siput laut yang bernama Kulomang. Siput laut terkenal sebagai binatang yang cerdik dan sangat setia kawan. Pada suatu hari, si Rusa mendatangi si Kulomang. Ditantangnya siput laut itu untuk adu lari hingga sampai di tanjung ke sebelas. Taruhannya adalah pantai tempat tinggal sang siput laut.
Dalam hatinya si Rusa itu merasa yakin akan dapat mengalahkan si Kulomang. Bukan saja jalannya sangat lambat, si Kulomang juga memanggul cangkang. Cangkang itu biasanya lebih besar dari badannya. Ukuran yang demikian itu disebabkan oleh karena cangkang itu adalah rumah dari siput laut. Rumah itu berguna untuk menahan agar tidak hanyut di waktu air pasang. Dan ia berguna untuk melindungi siput laut dari terik matahari.
Pada hari yang ditentukan si Rusa sudah mengundang kawan-kawannya untuk menyaksikan pertandingan itu. Sedangkan si Kulomang sudah menyiapkan sepuluh teman-temannya. Setiap ekor dari temannya ditempatkan mulai dari tanjung ke dua hingga tanjung ke sebelas. Dia sendiri akan berada ditempat mulainya pertandingan. Diperintahkannya agar teman-temanya menjawab setiap pertanyaan si Rusa.
Begitu pertandingan dimulai, si Rusa langsung berlari secepat-cepatnya mendahului si Kulomang. Selang beberapa jam is sudah sampai di tanjung kedua. Nafasnya terengah-engah. Dalam hati ia yakin bahwa si Kulomang mungkin hanya mencapai jarak beberapa meter saja. Dengan sombongnya ia berteriak-teriak, “Kulomang, sekarang kau ada di mana?” Temannya si Kulomang pun menjawab, “aku ada tepat di belakangmu.” Betapa terkejutnya si Rusa, ia tidak jadi beristirahat melainkan lari tunggang langgang.
Hal yang sama terjadi berulang kali hingga ke tanjung ke sepuluh. Memasuki tanjung ke sebelas, si Rusa sudah kehabisan napas. Ia jatuh tersungkur dan mati. Dengan demikian si Kulomang dapat bukan saja mengalahkan tetapi juga memperdayai si Rusa yang congkak itu. (Aneke Sumarauw, “Si Rusa dan Si Kulomang,” Cerita Rakyat dari Maluku.
(SELESAI)

Fabel – Tipu Daya Sang Burung Bangau



Malini adalah sebuah danau. Pemandangannya sangat indah, air jernih membuat senang penghuninya. Berbagai jenis hewan air merasa aman tentram. Mereka hidup damai tanpa ada ganguan. Suatu hari datanglah seekor bangau yang terbang di atas danau itu. Ia amat terpesona melihat keindahannya. Dengan segera ia mendekati danau itu dan mulai menjalankan akal muslihatnya. Ditepi danau itu ia mengambil sikap berdiri dengan satu kaki menghadap ke arah danau, seakan-akan ia menjadi seekor bangau pertapa yang telah meninggalkan alam keduniawian.
Berhari-hari ia bersikap demikian tanpa bergerak-gerak sedikitpun. Lama-lama ikan-ikan di danau merasa heran dan mereka mulai berani mendekati bangau yang sedang “bertapa”. Dua ekor ikan mencoba lewat dimuka bangau itu. Tapi bangau tidak mengubah sikap sedikitpun. Ia seakan-akan tak mempunyai nafsu lagi untuk menikmati kehidupan yang indah ini. Akhirnya semua ikan di danau itu tak merasa takut lagi padanya, dan mereka tak merasa khawatir akan dijadikan mangsa bangau itu. Suatu hari, karena rasa ingin tahunya, raja ikan di danau itu bertanya pada bangau : “Mengapa kau sedih wahai bangau?”
“Oh ikan yang baik, aku berbuat demikian ini adalah atas kehendak dewa. Aku telah sadar dari segala perbuatanku yang telah lalu, yang membuatku sangat berdosa besar terhadap dewa-dewa. Sebab itu aku hendak menebus dosa-dosaku itu dengan petunjuknya, dan mulai saat ini aku tak mau lagi memusuhi sesama mahluk, termasuk engkau ikan-ikan, apa lagi memakannya. Alangkah gembiranya ikan-ikan mendengarnya. Tetapi beberapa hari kemudian alangkah herannya ikan-ikan ketika dilihatnya bangau menangis. Maka bertanyalah sang raja ikan: “Hai bangau! mengapa engkau menangis?” Oh ikan, alangkah sedihnya aku, jawab bangau sambil terus mengisak-isak. “Mengapakah demikian, bangau?” tanya ikan lagi.
Sebenarnya akan datang bencana yang bakal menimpa kita sekalian, penghuni danau indah ini. Aku telah mendengar kabar, bahwa tiada beberapa lama lagi para nelayan akan mengadakan penangkapan ikan besar-besaran. Mereka telah membuat jala, pancing dan bubu sebanyak-banyaknya. Oh ikan, itulah yang menjadi buah pikiranku selama ini. Karena itu ikan-ikan, aku hanya dapat berpesan, berhati-hatilah kalian menghadapi bencana yang bakal tiba. Aku berdosa tidak bisa melindungi agar kalian dapat menyelamatkan diri masing-masing terhadap nelayan yang serakah itu.”
Mendengar berita itu alangkah sedihnya hati para ikan. Mereka saling bertangisan di hadapan bangau sambil meratap-ratap.
Oh bangau, tiadakah engkau dapat memberi pertolongan agar kami dapat terlepas dari bencana itu? Hm, ikan-ikan, aku punya akal. Aku bersedia memberi pertolongan, memindahkan kalian satu persatu ke danau lain tak jauh dari sini.
Karena rasa takutnya terhadap bencana yang akan menimpa ikan-ikan itu, maka satu-persatu ikan-ikan diterbangkan. Tetapi bangau itu tidak terbang menuju tempat yang dijanjikan. Melainkan dibawanya ke sarang mereka.
Disana dengan lahapnya dimakannya ikan-ikan itu. Demikian seterusnya, sampai ikan-ikan di danau itu habis.
Kini tinggallah seekor ketam di danau itu yang belum dipindah. Iapun dibawa terbang oleh bangau. Tapi serentak ia hendak menukik kesarangnya, ketam itu melihat banyak sekali darah dan duri-duri ikan disana.
Tahulah ketam itu, bahwa iapun hendak dimangsa bangau yang serakah itu. Ketika bangau itu menukik turun, cepat-cepat ketam itu menjepit leher bangau itu. Bangau itu segera menggelepar tak berdaya. Lepaskan aku! Lepaskan! teriaknya parau. Ketam itu makin memperkeras jepitannya hingga akhirnya putuslah leher bangau itu. Darahnya mengucur. Jadi bangau itu binasa juga, ya nek? tanyaku. Ya, setiap kejahatan pasti berakhir demikian. Sambung nenek menyudahi ceritanya.

Fabel – Tupai dan Ikan Gabus


Di sebuah telaga di daerah Kalimantan barat,
tersebutlah seekor tupai bersahabat dengan seekor ikan gabus. Persahabatan tersebut sangatlah kuatnya.
Pada suatu hari si Ikan Gabus jatuh sakit. Badannya sangatlemah.
Dengan setianya si Tupai menunggui temannya itu. Sudah beberapa hari si Ikan Gabus tidak enak makan. Maka si Tupai berusaha membujuknya. Namun si Ikan Gabus hanya mau makan
kalau diberi makan hati ikan Yu.
Mendengar permintaan si Ikan Gabus, Si Tupai menjadi sangat sedih. Sulit sekali memenuhi permintaan sahabatnya itu. Ikan Yu adalah hewan yang sangat ganas dan hanya hidup di
lautan lepas. Namun akhirnya ia memutuskan juga untuk mencarikannya.
Maka iapun meloncat-loncat dari pohon ke pohon hingga sampai ke sebuah pohon kelapa yang batangnya menjorok ke laut. Dengan perlahan si Tupai melobangi sebutir biji kelapa. Setelah airnya habis, iapun masuk ke dalam kelapa itu. Dari dalam kelapa itu ia masih dapat menggerogoti tangkai buah kelapa itu.
Tak lama kemudian buah kelapa itu sudah terlepas dari tangkainya dan tercebur ke laut lepas. Ombak laut itu sangat besar. sehingga dalam waktu tidak lama, buah kelapa itu sudah berada ditengah laut lepas. Tiba-tiba datanglah seekor Ikan Yu besar. Dengan segera ia menelan biji kelapa tersebut bulat-bulat. Setelah berada di dalam perut ikan itu, si Tupai lalu mengigiti hatinya. Ikan itu menggelepar-gelepar menuju pantai. Sesampainya di pantai, Ikan Yu sudah kehabisan tenaga dan akhirnya mati.
Dengan senang hati si Tupai membawa hati Ikan Yu itu untuk sahabatnya. Dengan ajaibnya setelah memakan hati Ikan Yu, Si Ikan Gabus menjadi sembuh total. Ia meloncat-loncat dengan gembiranya. Ia pun berjanji akan menolong si Tupai kalau ia sakit di hari kemudian. (Diadaptasi secara bebas dari Warisa Ram, dkk. “Tupai dan Ikan Gabus” Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Barat. Jakarta).
(SELESAI)

Fabel – Kancil dan Buaya


Pada zaman dahulu Sang Kancil adalah merupakan binatang yang paling cerdik di dalam hutan. Banyak binatang-binatang di dalam hutan datang kepadanya untuk meminta pertolongan apabila mereka menghadapi masalah. Walaupun ia menjadi tempat tumpuan binatang- binatang di dalam hutan, tetapi ia tidak menunjukkan sikap yang sombong malah sedia membantu pada bila-bila masa saja.
Suatu hari Sang Kancil berjalan-jalan di dalam hutan untuk mencari makanan. Oleh kerana makanan di sekitar kawasan kediaman telah berkurangan Sang Kancil bercadang untuk mencari di luar kawasan kediamannya. Cuaca pada hari tersebut sangat panas, menyebabkan Sang Kancil berasa dahaga kerana terlalu lama berjalan, lalu ia berusaha mencari sungai yang berdekatan. Setelah meredah hutan akhirnya kancil berjumpa dengan sebatang sungai yang sangat jernih airnya. Tanpa membuang masa Sang Kancil terus minum dengan sepuas-puasnya. Kedinginan air sungai tersebut telah menghilangkan rasa dahaga Sang Kancil.
Kancil terus berjalan-jalan menyusuri tebing sungai, apabila terasa penat ia berehat sebentar di bawah pohon beringin yang sangat rendang di sekitar kawasan tersebut. Kancil berkata didalam hatinya “Aku mesti bersabar jika ingin mendapat makanan yang lazat-lazat”. Setelah kepenatannya hilang, Sang Kancil menyusuri tebing sungai tersebut sambil memakan dedaun kegemarannya yang terdapat disekitarnya. Apabila tiba di satu kawasan yang agak lapang, Sang Kancil terpandang kebun buah-buahan yang sedang masak ranum di seberang sungai.”Alangkah enaknya jika aku dapat menyeberangi sungai ini dan dapat menikmati buah-buahan tersebut” fikir Sang Kancil.
Sang Kancil terus berfikir mencari akal bagaimana untuk menyeberangi sungai yang sangat dalam lagi deras arusnya. Tiba-tiba Sang Kacil terpandang Sang Buaya yang sedang asyik berjemur di tebing sungai. Sudah menjadi kebiasaan buaya apabila hari panas ia suka berjemur untuk mendapat cahaya matahari.Tanpa berlengah-lengah lagi kancil terus menghampiri buaya yang sedang berjemur lalu berkata ” Hai sabahatku Sang Buaya, apa khabar kamu pada hari ini?” buaya yang sedang asyik menikmati cahaya matahari terus membuka mata dan didapati sang kancil yang menegurnya tadi “Khabar baik sahabatku Sang Kancil” sambung buaya lagi “Apakah yang menyebabkan kamu datang ke mari?” jawab Sang Kancil “Aku membawa khabar gembira untuk kamu” mendengar kata-kata Sang Kacil, Sang Buaya tidak sabar lagi ingin mendengar khabar yang dibawa oleh Sang Kancil lalu berkata “Ceritakan kepada ku apakah yang engkau hendak sampaikan”.
Kancil berkata “Aku diperintahkan oleh Raja Sulaiman supaya menghitung jumlah buaya yang terdapat di dalam sungai ini kerana Raja Sulaiman ingin memberi hadiah kepada kamu semua”. Mendengar saja nama Raja Sulaiman sudah menggerunkan semua binatang kerana Nabi Sulaiman telah diberi kebesaran oleh Allah untuk memerintah semua makhluk di muka bumi ini. “Baiklah, kamu tunggu di sini, aku akan turun kedasar sungai untuk memanggil semua kawan aku” kata Sang Buaya. Sementara itu Sang Kancil sudah berangan-angan untuk menikmati buah-buahan. Tidak lama kemudian semua buaya yang berada di dasar sungai berkumpul di tebing sungai. Sang Kancil berkata “Hai buaya sekelian, aku telah diperintahkan oleh Nabi Saulaiman supaya menghitung jumlah kamu semua kerana Nabi Sulaiman akan memberi hadiah yang istimewa pada hari ini”. Kata kancil lagi “Beraturlah kamu merentasi sungai bermula daripada tebing sebelah sini sehingga ke tebing sebelah sana”.
Oleh kerana perintah tersebut adalah datangnya daripada Nabi Sulaiman semua buaya segera beratur tanpa membantah. Kata Buaya tadi “Sekarang hitunglah, kami sudah bersedia” Sang Kancil mengambil sepotong kayu yang berada di situ lalu melompat ke atas buaya yang pertama di tepi sungai dan ia mula menghitung dengan menyebut “Satu dua tiga lekuk, jantan betina aku ketuk” sambil mengetuk kepala buaya begitulah sehingga kancil berjaya menyeberangi sungai. Apabila sampai ditebing sana kancil terus melompat ke atas tebing sungai sambil bersorak kegembiraan dan berkata” Hai buaya-buaya sekalian, tahukah kamu bahawa aku telah menipu kamu semua dan tidak ada hadiah yang akan diberikan oleh Nabi Sulaiman”.
Mendengar kata-kata Sang Kancil semua buaya berasa marah dan malu kerana mereka telah di tipu oleh kancil. Mereka bersumpah dan tidak akan melepaskan Sang Kancil apabila bertemu pada masa akan datang. Dendam buaya tersebut terus membara sehingga hari ini. Sementara itu Sang Kancil terus melompat kegembiraan dan terus meniggalkan buaya-buaya tersebut dan terus menghilangkan diri di dalam kebun buah-buahan untuk menikmati buah-buahan yang sedang masak ranum itu.
(SELESAI)

Fabel – Jian Anjing dan Raku Kura-kura


Whuuuz… whuuuzz…
Ibu Mia Kucing terbangun mendengar suara ribut-ribut. Ia keluar rumah dan bertanya pada Bu Abi Kambing.
“Siga si Raja Hutan ulang tahun. Seluruh penghuni hutan diundang ke pestanya malam nanti.”
“Kok mendadak begini?” tanya Bu Mia heran.
“Raja baru ingat pagi ini. Persiapannya jadi serba terburu-buru. Raja menyuruh Raku Kura-kura dan Kiki Kelinci menempelkan undangan di pohon.”
“Oh, dua pelari cepat itu? Pantas ribut ekali,” omel Bu Mia Kucing.
“Kalau bukan mereka berdua, siapa lagi yang bisa disuruh?”
“Benar juga,” sahut Bu Mia. “Walaupun Raku Kura-kura itu berkaki pendek, namun larinya … wow, luar biasa!”

Malamnya, semua hewan di hutan berkumpul di halaman istana. Pakaian dan perhiasan mereka serba gemerlap. Dan tentu saja mereka tak lupa membawa hadiah untuk Raja Siga Singa. Hadiah-hadiah itu diletakkan teratur di atas meja di dekat pagar istana. Hanya Jian Anjing yang tidak menumpuk hadiahnya bersama yang lain. Diletakkannya hadiah mangkuk kristal bening itu di bawah meja. Ia takut mangkuk itu pecah jika tertindih hadiah-hadiah lain.

Sementara itu …
“Hosh! Hosh! Sepertinya pesta sudah mulai. Ukh, untung Raja belum muncul,” gumam Raku Kura-kura terengah-engah. Ia datang sedikit terlambat. Walau larinya cepat, tapi rumahnya paling jauh dari istana.

Ketika hendak bergabung dengan tamu-tamu lainnya, Raku Kura-kura ragu-ragu sejenak. Kemudian secepat kilat ia bersembunyi di bawah meja tempat tumpukan hadiah.
“Gawat!” desisnya.” Semuanya berpenampilan mewah. Bisa-bisa aku jadi tamu berpenampilan terburuk,” Raku Kura-kura cemas memandangi tubuhnya yang polos tanpa hiasan sedikitpun.

Raku Kura-kura sudah biasa menjadi pusat perhatian karena larinya yang sangat cepat. Apalagi setelah ia berhasil mengalahkan Kiki Kelinci dalam suatu pertandingan lari. Namun, tak mungkin kan ia harus berlari ke sana ke mari untuk menarik perhatian.

Ah! Tiba-tiba matanya melihat sebuah mangkuk kristal indah di sampingnya. Milik siapa ini? pikir Raku Kura-kura. “Ah, aku tahu!” serunya ketika mendapat ide.

Gluduk gluduk! Dengan hati-hati ia menggelindingkan mangkuk itu ke balik semak-semak. Dibalurinya dengan getah dan daun sampai warnanya berubah kehijauan. Lebih bagus daripada warna bening tadi. Mangkuk itu lalu diikatnya ke punggungnya dengan akar-akar pohon. Berat, tapi tak jadi soal.

Penuh percaya diri Raku Kura-kura masuk ke halaman istana. Semua mata langsung tertuju padanya.
“Wah, Raku Kura-kura! Indah sekali benda yang ada di punggungmu! Hijau kemilau seperti zamrud!” decak para tamu kagum.

Raku Kura-kura mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Ia puas diperhatikan seperti itu. Namun Jian Anjing menatapnya curiga. Ia yakin benda di punggung Raku Kura-kura adalah mangkuk kristal miliknya. Jian Anjing segera memeriksa kolong meja tempat hadiah. Benar! Mangkuk kristalnya menghilang! Ia langsung berteriak, “Raku Kura-kura, pencuri! Kembalikan mangkuk kristalku!”

Tamu-tamu pesta kaget dan bingung.
“Cepat lepaskan mangkuk itu dari punggungmu!” Jian Anjing berusaha menarik lepas mangkuk itu. Tapi akar pohon yang melilit terlalu kuat. Keduanya sama-sama terpental.

Tiba-tiba terdengar suara menggelegar,
“Siapa yang berani membuat keonaran di hari ulang tahunku?!” Siga si Raja Hutan muncul. Ia duduk di singasananya sambil melotot ke arah Raku Kura-kura dan Jian Anjing. Semua terdiam menahan napas.
“Maaf, Baginda,” sembah Jian Anjing hormat. “Tapi mangkuk yang akan hamba hadiahkan untuk Baginda telah dicuri Kura-kura ini.”
“Tidak, Baginda!” bantah Raku Kura-kura tegas. “Mangkuk ini hamba temukan di kolong meja itu. Hamba cuma bermaksud meminjamnya sebentar.”
“Tapi kau mengambilnya tanpa seijinku. Itu mencuri namanya!” Keduanya terus berbantahan.
“DIAM!” bentak si Raja Hutan. Ia menyuruh Raku Kura-kura segera mengembalikan mangkuk itu.
“Tapi akar-akar yang melilit di tubuh hamba terlalu kuat. Sepertinya … mangkuk ini tidak bisa dilepas,” elak Raku Kura-kura.
“Raku Kura-kura, aku tahu kau menyukai mangkuk itu,” kata Siga Raja Hutan. “Jian Anjing sebenarnya hendak memberikan mangkuk itu untukku. Tapi rasanya mangkuk itu memang lebih pantas untukmu. Baiklah, kuizinkan kau memilikinya. Mulai sekarang, teruslah ke mana-mana dengan mangkuk di punggungmu.”
“Terima kasih, Baginda,” Raku Kura-kura mencibir ke arah Jian Anjing yang terpaksa merelakan mangkuk itu.
“Tapi…” lanjut Siga Raja Hutan, “Sebagai gantinya, kemampuan berlari cepatmu kuberikan pada Jian Anjing. Adil, bukan?”

Sejak itu Raku Kura-kura cuma bisa berjalan lambat-lambat, dan menjaga agar mangkuk kristal di punggungnya tidak jatuh. Sering ia menyesali keadaan dirinya. Karena tak ada lagi yang mengelu-elukan kecepatan larinya.

Itu sebabnya sampai sekarang bangsa kura-kura memiliki mangkuk keras di punggungnya. Dan tetap berjalan lambat. Kalau bertemu makhluk lain, mereka cepat-cepat menyusupkan kepala ke dalam mangkuknya. Mungkin malu kalau ada yang menanyakan tentang Raku, nenek moyang mereka yang serakah.
Sementara itu, bangsa anjing sampai kini bisa berlari cepat. Dan terbiasa mengejar pencuri seperti Jian, nenek moyang mereka.
(SELESAI)

Fabel – Ikan Salem Yang Gigih


Alkisah hiduplah sekelompok ikan salem di lautan. Ikan salem hidup berkelompok dan mencari makan di laut lepas bersama-sama. Suatu ketika, tibalah saatnya ikan-ikan salem berkembang biak. Salem betina bertelur di atas karang-karang di dasar laut, kemudian telur-telur itu dibuahi oleh telur-telur salem jantan. Tetapi sayang, belum sempat telur itu menjadi anak, banyak binatang lain yang memangsanya. Pemangsa telur-telur itu diantaranya adalah kepiting, penyu, dan ikan-ikan lainnya. Tentu saja hal itu membuat ikan salem murka. Kalau hal itu berlanjut terus, maka bisa dipastikan ikan-ikan salem akan punah.
Suatu hari datanglah seekor kepiting merusak telur-telur ikan salem. Ikan salem betina mengadukan hal itu kepada ikan salem jantan ketika dilihatnya seekor kepiting sedang memakan telur-telur ikan salem. Ikan salem jantan marah bukan kepalang lalu segera menghampiri kepiting yang sedang melahap telur.
“Hai kepiting! Kenapa kau makan telur-telur kami?! tegur ikan salem jantan murka. “Memang kenapa? Bukankah telur-telurmu ini enak sekali untuk dimakan?” sahut kepiting membuat ikan salem jantan bertambah murka. “Kepiting jahat! Teganya kau makan telur-telur kami. Bagaimana kami bisa berkembangbiak nanti? Tidak lama lagi kamu pasti akan punah, tidak punya keturunan.” Seru ikan salem betina sambil menangis.”Biar saja yang penting aku tidak kelaparan!” sahut kepiting acuh.
Mendengar ucapan kepiting yang menyakitkan itu, ikan salem jantan langsung menyerang kepiting. Kepiting mencoba melawan dengan menggunakan capitnya yang besar. Terjadilah perkelahian yang seru antara ikan salem jantan dengan kepiting. Capit kepiting sebelah kiri patah oleh serangan ikan salem jantan. Namun ikan salem jantan pun tubuhnya luka-luka karena terkena jepitan capit kepiting. Melihat ikan salem jantan luka-luka, ikan salem betina tidak tinggal diam. Dengan gerakan cepat ikan salem betina ikut menyerang kepiting dari arah belakang. Akibat serangan itu kepiting kehilangan kedua capitnya. Kepiting itupun lari setelah kehilangan kedua senjatanya. Ikan-ikan salem yang lain menyambut gembira dengan kemenangan ikan salem itu. Ikan salem jantan memuji ikan salem betina yang dengan berani membantu ikan salem jantan, sehingga kepiting itu lari ketakutan.
Ikan salem kembali hidup dengan tenang. Setelah kejadian itu kepiting tidak pernah muncul lagi mengganggu telur-telur ikan salem. Tetapi ketenteraman ikan-ikan salem tidak berlangsung lama, karena sekelompok udang raksasa telah mengintai telur-telur mereka di malam hari. Keadaan itu tentu saja membuat ikan-ikan salem gelisah kembali. Sebab bagaimana mungkin mereka dapat melawan udang-udang raksasa itu, sedangkan udang-udang raksasa itu selalu beraksi di malam hari, di saat ikan-ikan salem sedang tertidur lelap. Untuk memecahkan masalah itu, ikan-ikan salem berunding.
“Aku mempunyai usul…!” ujar salah satu ikan salem jantan. “Ya, bagaimana usulmu kawan?” tanya ikan salem jantan lainnya. “Begini, bagaimana kalau mulai malam nanti kita semua tidak usah tidur. Kita semua berjaga-jaga untuk melawan udang raksasa.” Seru ikan salem itu. Bukankah kita sudah lelah seharian mencari makan, mana mungkin kita kuat tidak tidur semalaman, sedangkan esok hari kita harus mencari makan lagi.” Ujar ikan salem betina merasa keberatan. “Betul…, betul…” ujar ikan salem betina lainnya.
“Baik, baiklah begini saja. Bagaimana kalau ikan salem jantan saja berjaga bergantian. Sedangkan ikan salem betina tidak usah berjaga. Namun bila ada udang raksasa datang menyerang, kita semua harus bangun untuk melawannya bersama-sama. Bagaimana, setuju semua?” usul ikan salem yang paling besar. “Setuju, kami semua setuju!” akhirnya mereka semua sepakat dengan keputusan itu. Hari menjelang sore. Matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Ikan-ikan salem terlihat sedang beristirahat karena kelelahan. Tiba saatnya ikan-ikan salem jantan bergantian jaga malam untuk melindungi telur-telurnya dari serangan udang raksasa. Hingga hari menjelang malam, keadaan sepi-sepi saja. Tidak nampak seekor binatang lain yang mengganggu.
“Hei kawan…, bangunlah. Kini giliran kamu yang berjaga.” Bisik salah satu ikan salem yang sudah mengantuk. “Apa?” sahut ikan salem yang baru saja terbangun. “Baiklah sekarang giliranku untuk berjaga. Silakan kamu beristirahat.” “Baiklah, aku lelah sekali. Berhati-hatilah kamu, kalau ada kejadian cepat bangunkan teman-teman semua.” Pesan ikan salem itu. Tak lama kemudian ikan salem itu tidur. Giliran ikan salem yang baru terbangun itu berjaga. Matanya yang masih lekat itu memandangi telur-telur yang ada di atas karang. Kelihatannya aman tidak ada apa-apa, pikirnya dengan hati agak tenang. Namun beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja datang sekawanan udang raksasa dari arah selatan. Udang-udang raksasa itu sengaja datang di tengah malam untuk memakan telur-telur ikan salem.
Ikan salem yang sedang berjaga segera bersembunyi setelah mengetahui kedatangan udang-udang raksasa itu. “Wah! jumlah mereka banyak sekali.” Pikir ikan salem itu. Udang-udang raksasa tersebut lalu menuju ke tempat telur-telur ikan salem itu berada. Sedangkan ikan salem yang berjaga segera melaporkan kejadian itu kepada teman-temannya. “Sssss… perlahan-lahan, nampaknya ikan-ikan salem itu tertidur semua. Ayo kita makan telur-telur mereka sampai habis.” Ucap salah seekor udang yang paling besar. “Ya benar, tetapi janganlah terlalu lama karena nanti bisa ketahuan oleh ikan-ikan salem itu.” Seru udang raksasa yang lain.
Pada saat yang bersamaan ikan salem itu sudah membangunkan semua temannya. Mereka semua telah siap bertarung mati-matian untuk mempertahankan telur-telur mereka. Kemudian ikan-ikan salem itu berpencar untuk mengepung udang-udang raksasa dari segala arah. Tak ketinggalan yang betina pun ikut bertarung. Tidak berapa lama terjadilah pertarungan yang seru antara kelompok ikan salem dan kelompok udang raksasa. Namun dalam pertarungan tersebut ikan salem banyak yang gugur, terutama ikan salem jantan. Tidak sedikit pula ikan salem betina yang gugur demi membela telur-telur mereka.
“Wahai salem betina! Mengungsilah kalian ke tempat yang aman dan selamatkanlah telur-telur itu agar menetas di sana!” teriak seekor ikan salem jantan. “Lantas bagaimana dengan nasib kalian!?” seekor ikan salem betina bertanya. “Tidak usah pikirkan kami, kami akan berjuang mati-matian melawannya! Cepatlah pergi, sebelum terlambat!” sahut ikan salem jantan. “Baiklah kalau begitu, mari kita cepat berangkat!” ajak ikan salem betina kepada ikan salem betina lainnya. “Tapi kemana kita hendak pergi?” tanya seekor ikan salem betina.”Sebaiknya kita pergi ke hulu sungai saja, di sana pasti aman.” Seekor ikan salem betina menyarankan.
“Tetapi hulu sungai itu kan sulit dijangkau.” Sahut ikan salem betina lain. “Memang betul, untuk mencapai hulu kita harus melawan arus dan mendaki. Tapi kita harus berjuang menyelamatkan telur-telur kita agar bisa sampai ke hulu dan bisa menetas di sana. Lihatlah ikan-ikan salem jantan! Mereka rela mati untuk membela kita, maka kita pun harus rela berkorban demi menyelamatkan telur-telur kita.” Sahut seekor ikan salem betina dengan bijak. “Baiklah, mari kita berangkat.”
Mereka segera berduyun-duyun menuju muara sungai dengan membawa telur-telurnya. Sesampainya di muara mereka dengan sekuat tenaga mendaki menuju hulu sungai dengan melawan arus yang deras. Perjuangan ikan salem betina tak kalah kerasnya dengan perjuangan salem jantan. Banyak ikan salem betina yang gugur karena terkena batu-batu yang runcing saat melompati tebing, salem jantan pun banyak yang mati terkena cabikan udang raksasa yang ganas.
Beberapa ikan salem betina akhirnya sampai pada hulu sungai dengan selamat. Mereka bahagia dapat menyelamatkan telur-telur mereka sampai di hulu. Walaupun akhirnya mereka itu harus mati karena kelelahan.

Fabel – Hiu dan Lumba-lumba


Ikan hiu dan ikan lumba-lumba mempunyai perangai yang berbeda, namun mereka tetap bersahabat. Ikan hiu dikenal mempunyai sifat serakah, ganas, dan kejam. Berlawanan dengan sifat ikan lumba-lumba yang penyabar dan bijak. Walaupun demikian mereka selalu bersama bila mencari makan.
Suatu hari, mereka beriringan mencari makan di lautan yang dalam. Ikan lumba-lumba senang memangsa ikan-ikan yang kecil, sedangkan ikan hiu lebih suka memangsa ikan-ikan yang besar. Ikan hiu mempunyai nafsu makan yang luar biasa.
Walaupun telah mendapat ikan yang besar sekalipun, kadang ikan hiu masih suka menangkap mangsa yang lain. Bahkan seringkali ikan hiu tidak menghabiskan mangsanya, karena perutnya sudah tidak muat lagi untuk menampung.
Ketika sampai di sebuah tempat, mereka segera mengejar-ngejar mangsa yang berada di sekitarnya. Ikan hiu dengan buasnya melahap ikan-ikan yang besar, sedang ikan lumba-lumba hanya memangsa ikan-ikan kecil yang berada di dekatnya. Ikan lumba-lumba memang tidak berminat memakan ikan-ikan yang besar, walaupun sebenarnya mudah didapat.
Tanpa sepengetahuan ikan hiu dan ikan lumba-lumba, tiba-tiba saja sebuah perahu nelayan berada tepat di atas mereka. Di atas perahu itu nampak dua orang nelayan yang akan menjaring ikan. Tidak lama kemudian, kedua nelayan menebarkan jaring-jaring perangkapnya.
Ikan hiu yang sedang memangsa ikan, terkejut melihat jaring-jaring yang ditebarkan nelayan itu. Namun dengan gerak cepat, ikan hiu dapat melesat dan menghindari jaring-jaring itu.
“Awas lumba-lumba! Ada jaring perangkap!” teriak ikan hiu memperingatkan ikan lumba-lumba. Tetapi sayang, karena gerakan ikan lumba-lumba tidak cepat, ia terperangkap.
“Tolong aku hiu! Aku terperangkap!” jerit ikan lumba-lumba meminta bantuan.
Ikan hiu mencoba memberikan pertolongan. Dengan gigi-giginya yang tajam ia berusaha memutuskan tali jaring-jaring perangkap itu. Tetapi usahanya sia-sia, karena kedua nelayan itu segera menarik jaring perangkapnya.
Saat menarik hasil tangkapannya, kedua nelayan itu merasa keberatan. Dengan sekuat tenaga perlahan-lahan hasil tangkapan itu dapat ditarik.
“Tampaknya hasil tangkapan kita banyak sekali hari ini!” ucap salah seorang nelayan dengan raut wajah gembira.
“Ya, kelihatannya begitu. Beratnya dua kali lipat dari biasanya!” ujar nelayan yang satunya lagi.
Lihat! Ada ikan yang besar sekali!” teriak salah seorang nelayan begitu melihat hasil tangkapannya di permukaan air.
“Pantas saja berat sekali!” seru nelayan yang satunya lagi. Kemudian mereka mengangkat hasil tangkapannya itu ke atas perahu.”Akan kita apakan ikan yang besar ini?” tanya nelayan itu.
“Sebaiknya kita jual saja bersama dengan ikan-ikan yang lain. Mungkin harganya lebih mahal!” jawab nelayan satunya. Mendengar dirinya akan dijual di pasar, ikan lumba-lumba hanya dapat menangis tersedu-sedu. Tubuhnya menggeliat kepanasan karena terik matahari yang mulai menyengat.
Kedua nelayan itu memperhatikan gerak-gerik ikan lumba-lumba yang menggeliat di atas perahu mereka. Kulitnya mulai mengering karena panasnya sinar matahari. Air mata ikan lumba-lumba mulai menetes dan membasahi seluruh tubuhnya.
“Lihatlah! ikan besar itu menangis!” seru seorang nelayan.
“Ya, tampaknya ikan itu sedih mendengar dirinya akan dijual di pasar.” Jawab nelayan yang satunya. “Bagaimana kalau ikan besar itu kita lepaskan kembali ke laut? Aku tidak tega melihat ikan ini menangis terus.”
“Baiklah kalau begitu, akupun tidak tega menjual ikan sebesar ini ke pasar. Kalau begitu mari kita lepas ikan ini.” Ucap nelayan yang satu dengan hati terharu.
Mereka mengangkat dan melepaskan ikan lumba-lumba ke laut. Ikan lumba-lumba berhenti menangis, hatinya berubah gembira tak terkira karena selamat dan tidak jadi dijual oleh nelayan itu. Sebagai tanda terima kasihnya, ikan lumba-lumba berlompat-lompat di depan perahu mereka, dan bersiul tanda gembira. Kedua nelayan itupun senang dan tersenyum melihat ikan lumba-lumba tidak bersedih lagi. Kemudian nelayan itu pulang.
“Hai hiu! Aku selamat!” sapa ikan lumba-lumba kepada ikan hiu dengan hati gembira.
“Bagaimana kau bisa lolos?” tanya ikan hiu keheranan.
“Nelayan-nelayan itu yang melepaskanku. Mereka itu baik hatinya. Mereka tidak sampai hati menjualku ke pasar. Padahal katanya, aku bisa dijual dengan harga mahal.” Cerita ikan lumba-lumba pada ikan hiu.
“Ah tidak, nelayan-nelayan itu serakah! Seharusnya aku yang mendapatkan ikan-ikan besar tadi. Karena nelayan itu menjaringnya aku jadi tidak kebagian!” ujar ikan hiu dengan hati kesal.
“Tidak kawan, nelayan itu tidak serakah. Kalau mereka serakah, pasti aku sudah dijualnya tadi.” Ucap ikan lumba-lumba menyangkal pendapat ikan hiu.
“Tidak, aku tetap tidak suka dengan nelayan itu. Mereka tangkap semua ikan-ikan yang seharusnya menjadi bagianku. Kelak suatu saat, bila ada perahu nelayan yang hancur diterjang badai, aku akan memangsa mereka sebagai gantinya.” Demikian ikan hiu bersumpah.
“Jangan kawan, janganlah kamu berbuat begitu. Kamulah yang sebenarnya serakah. Tidak puaskah kamu memakan ikan-ikan yang ada. Rasa-rasanya kita tidak akan kekurangan makanan, walaupun nelayan-nelayan itu menangkapi ikan-ikan di sini setiap hari.” Tutur ikan lumba-lumba menasihati.
“Bila kelak ada manusia yang tertimpa musibah, aku pasti akan menolongya. Sebab aku merasa berhutang budi kepada nelayan yang telah menolongku. Aku tak akan melupakan budi baik mereka. Makanya aku berjanji akan selalu menolong manusia yang kesusahan.” Begitulah janji ikan lumba-lumba untuk membalas kebaikan manusia.
Sampai di sinilah kisah ikan hiu dan ikan lumba-lumba, dua tokoh yang berlainan sifatnya. Ikan hiu yang mempunyai sifat buruk merasa dendam dengan manusia, lantas dia membenci manusia. Sedangkan ikan lumba-lumba merasa berhutang budi kepada manusia, sehingga ikan lumba-lumba berjanji akan selalu menolong manusia yang tertimpa musibah.
(SELESAI)

Fabel – Cerita Si Anak Ikan


Ceritanya mengisahkan seekor anak ikan dan ibunya yang sedang berenang-renang dilautan dalam. Ibu ikan sedang mengajar anak kesayangannya akan erti kehidupan danrealiti yang mereka hadapi. Anak ikan ini bertanya,
“Apa banyakkah perkara yang anakanda tidak ketahui wahai ibu?”.
Ibu ikan ini pun berkata, “Duhai anakku yang ku kasihi, sesungguhnya terdapat suatuperkara yang amat penting yang ibu ingin sampaikan…ajaran ini telah disampaikan olehpendita-pendita ikan yang terulung sejak zaman berzaman, telah disebarkan kepadaseluruh warga alam air ini dan ibu harap anakanda juga ambil berat apa yang ingin ibu katakan…Suatu hari nanti, anakanda akan beruji dengan godaan-godaan yang mengelirukan akal… akan anakanda jumpa cacing yang sungguh enak sedang dicucukoleh mata kail dan diikat pada tali yang tidak nampak oleh mata kasar.
Cacing itu kelihatan sungguh mengiurkan, sungguh lazat sehinggakan anakanda tidak terfikir akanapapun kecuali utk menikmati juadah yang enak itu… tetapi anakanda kena ingat ituhanyalah muslihat manusia, mengumpan anakanda ke alam lain yang penuh sengsara.”
“Alam apa itu ibu?” “Jika anakanda terjerumus ke perangkap manusia itu.. leher anakanda akan disentapoleh besi yang bercangkuk tajam dan akananda akan merasa kesakitan di muluanakanda. Kemudian, mereka akan tarik anakanda ke arah sesuatu yang menyilaupandangan sehingga anakanda rasa anakanda akan buta… anakanda akan di campakumpama sampah di perut perahu mereka dan anakanda akan berasa sesak keranaanakanda bukan lagi dikelilingi oleh air tetapi udara…
Kemudian mereka akan membawaanakanda ke pasar, mereka letakkan harga..ada manusia yang datang danmencocok-cocok badan anakanda sebelum ada yang membawa anakanda ke rumahmereka. Siksaan mereka belum selesai…manusia itu akan mengelar- ngelar anakanda,menghiris daging dan meletakkan garam dan .. pedihnya ibu tak dapat bayangkan danceritakan..”, sambil si ibu tunduk sayu dan ketakutan.
“Setelah dikelar-kelar… anakanda akan melihat minyak yang panas mengelegak, sehingga percikannya bisa meleburkan kulit anakanda yang halus itu… manusia kemudiannya akan menurunkan anakanda ke dalam minyak yang panas itu sehingga segala daging dan kulit anakanda melecur dan bertukar warna…
Akhirnya.. anakanda akan dilapah, dimamah dan dikunyah oleh gigi-gigi manusia yang tidak mengenal erti belas kasihan itu… Semua siksaan itu berpunca dari godaan yang sedikit… ibu berpesan agar anakanda ingat dan berhati-hati di laut lepas tu…”
Si anak..hanya mengangguk-anggukkan kepalanya… dalam hatinya masih tidak yakin..kerana belum pernah ketemu cacing yang sebegitu… Suatu hari.. setelah di anak ini remaja..dan bersiar-siar dengan kawan-kawannya..mereka terlihat seekor cacing yang amat besar, tampak lazat berseri-seri… semuaikan-kan itu telah mendengar cerita dari orang tua masing-masing.. cuma baru sekarangmelihatnya dengan mata kasar sendiri.. masing- masing menolak satu sama lain.. dan mencabar-cabar agar pergi menjamah juadah itu.. akhirnya si anak yang tidak yakindengan ceritaibunya tadi berkata, “
Ahhhh…masakan benar kata-kata ibuku.. makanan selazat ini tidak akanmendatangkan apa-apa kecuali kenyang perutku. Ini habuanku….”, terlintas nafsu yangdtg menggoda… lalu.. setelah si anak itu mengangakan mulutnya luas-luas dan denganrakusnya membaham cacing itu… mulut dan tekaknya terasa kesakitan yang amatsangat…setelah puas cuba melepaskan diri.. si anak tadi berasa kesal dan sedih dalamdirinya.. kerana dia tahu…apa yang ibu katakan memang benar…cuma segalanya sudah terlambat..hanya kerana nafsu.

Fabel – Burung Bangau dan Seekor Ketam


Pada zaman dahulu terdapat sebuah tasik yang sangat indah. Airnya sungguh jernih dan di dalamnya ditumbuhi oleh pokok-pokok teratai yang berbunga sepanjang masa. Suasana di sekitar tasik tersebut sungguh indah. Pokok-pokok yang tumbuh di sekitarnya hidup dengan subur. Banyak burung yang tinggal di kawasan sekitar tasik tersebut. Salah seekornya adalah burung bangau. Manakala di dalam tasih hidup bermacam-macam ikan dan haiwan lain. Ada ikan telapia sepat, kelah, keli, haruan dan bermacam-macam ikan lagi. Selain daripada ikan,terdapat juga ketam dan katak yang turut menghuni tasih tersebut.
Burung bangau sangat suka tinggal di kawasan tasik tersebut kerana ia senang mencari makan. Ikan-ikan kecil di tasik tersebut sangat jinak dan mudah ditangkap. Setiap hari burung bangau sentiasa menunggu di tepi tasik untuk menagkap ikan yang datang berhampiran dengannya.
Beberapa tahun kemudian burung bangau semakin tua. Ia tidak lagi sekuat dulu untuk menangkap ikan. Kadang- kadang ia tidak memperolehi ikan untuk dimakan menyebabkan ia berlapar seharian. Ia berfikir di dalam hatinya seraya berkata “Kalau beginilah keadaanya, aku akan mati kelaparan kerana tidak lagi berdaya untuk menangkap ikan. Aku mesti mencari jalan supaya aku dapat memperolehi makanan dengan mudah”.
Burung bangau mendapat idea dan berpura-pura duduk termenung dengan perasan sedih di tebing tasik. Seekor katak yang kebetulan berada di situ ternampak bangau yang sangat murung dan sedih lalu bertanya “Kenapakah aku lihat akhir-akhir ini kamu asik termenung dan bersedih sahaja wahai bangau?”. Bangau menjawab ” Aku sedang memikirkan keadaan nasib kita dan semua penghuni tasih ini.” “Apa yang merunsingkan kamu, sedangkan kita hidup di sini sudah sekian lama tidak menghadapi sebarang masalah.” Jawab katak. “Awak manalah tahu, aku sering terbang ke sana ke mari dan mendengar manusia sedang berbincang tentang bencana kemarau yang akan menimpa kawasan ini dalam beberapa bulan lagi. Kau lihat sajalah sejak akhir-akhir ini hari panas semacam aje, hujan pun sudah lama tidak turun”. Bangau menyambung lagi “Aku khuatir tasik ini akan kering dan semua penghuni di tasik ini akan mati.” Katak mengangguk- ngangukkan kepalanya sebagai tanda bersetuju dengan hujah bangau tadi. Tanpa membuang masa katak terus melompat ke dalam tasik untuk memaklumkan kepada kawan-kawan yang lain.
Berita bencana kemarau telah tersebar ke seluruh tasih begitu cepat dan semua penghuni tasik berkumpul ditebing sungai dimana bangau berada. Masing-masing riuh rendah menanyakan bangau akan berita tersebut. Seekor ikan haruan bertanya kepada bangau “Apakah cadangan engkau untuk membantu kami semua?” Burung bangau berkata “Aku ada satu cadangan, tetapi aku khuatir kamu semua tidak bersetuju.” “Apakah cadangan tersebut” kata haruan seolah-olah tidak sabar lagi mendengarnya. Bangau berkata ” Tidak jauh dari sini ada sebuah tasik yang besar dan airnya dalam, aku percaya tasik tersebut tidak akan kering walaupun berlaku kemarau yang panjang.” “Bolehkah engkau membawa kami ke sana” sampuk ketam yang berada di situ. “Aku boleh membawa kamu seekor demi seekor kerana aku sudah tua dan tidak berdaya membawa kamu lebih daripada itu” kata burung bangau lagi.. Mereka pun bersetuju dengan cadangan burung bangau.
Burung bangau mula mengangkut seekor demi seekor ikan daripada tasik tersebut, tetapi ikan- ikan tersebut tidak dipindahkan ke tasik yang dikatakannya.Malahan ia membawa ikan-ikan tersebut ke batu besar yang berhampiran dengan tasik dan dimakannya dengan lahap sekali kerana ia sudah tidak makan selama beberapa hari. Setelah ikan yang dibawanya dimakan habis, ia terbang lagi untuk mengangkut ikan yang lain. Begitulah perbuatanya sehingga sampai kepada giliran ketam. Oleh kerana ketam mempunyai sepit ia hanya bergantung pada leher burung bangau dengan menggunakan sepitnya. Apabila hampir sampai ke kawasan batu besar tersebut,ketam memandang ke bawah dan melihat tulang-tulang ikan bersepah di atas batu besar. Melihat keadaan tersebut ketam berasa cemas dan berfikir di dalam hatinya “Matilah aku kali ini dimakan oleh bangau.” Lalu ia memikirkan sesuatu untuk menyelamatkan dirinya daripada ratahan bangau yang rakus. Setelah tiba di atas batu besar ketam masih lagi berpegang pada leher bangau sambil berkata “Dimanakah tasik yang engkau katakan itu dan kenapa engakau membawa aku di sini?” Bangau pun tergelak dengan terbahak-bahak lalu berkata “Kali ini telah tiba masanya engkau menjadi rezeki aku.” Dengan perasaan marah ketam menyepit leher bangau dengan lebih kuat lagi menyebabkan bangau sukar untuk bernafas, sambil merayu minta di lepaskan, ia berjanji akan menghantar ketam kembali ke tasik tersebut. Ketam tidak mempedulikan rayuan bangau malah ia menyepit lebih kuat lagi sehingga leher bangau terputus dua dan bangau mati di situ jua.
Dengan perasaan gembira kerana terselamat daripada menjadi makanan bangau ia bergerak perlahan-lahan menuju ke tasik sambil membawa kepala bangau. Apabila tiba di tasik, kawan-kawannya masih lagi setia menunggu giliran masing-masing. Setelah melihat ketam sudah kembali dengan membawa kepala bangau mereka kehairanan dan ketam menceritakan kisah yang berlaku. Semua binatang di tasik tersebut berasa gembira kerana mereka terselamat daripada menjadi makanan burung bangau yang tamak dan mementingkan diri sendiri. Mereka mengucakpan terima kasih kepada ketam kerana telah menyelamatkan mereka semua.

Photo Gallery